Oleh : irreplaceable_hest@yahoo.co.id
Sebuah catatan.
Pernikahan adalah satu dari tiga hal yang sangat dianjurkan untuk disegerakan
(ingat, bukan tergesa-gesa). Tepatnya sebuah catatan bagi para lelaki beriman
(yang telah siap), juga bagi para orang tua yang memiliki anak gadis untuk
bersegera menikahkan anak gadisnya dengan lelaki baik-baik dan beriman jika
sudah sampai masanya.
Seorang dai
bukanlah milik dirinya sendiri, bukan pula milik orang tuanya saja, juga bukan
hanya milik keluarga besar, tapi seorang dai hidup untuk keluarga, dakwah dan
ummat. Sampai pada saat seorang dai harus memutuskan untuk menikah, bukan hanya
mengandalkan perasaan, kecendrungan, ketertarikan, ketergantungan hati, bahkan
juga bukan hanya pertimbangan orang tua atau keluarga (walau hal ini juga
menjadi pertimbangan, tapi tidaklah menjadikannya mengalah pada keadaan),
tetapi menikahnya seorang dai jauh lebih agung dari menikahnya para lajang di
luar sana, mereka memilki pertimbangan lain yang harusnya lebih didahulukan,
yups… pertimbangan dakwah, ummat dan bangkitnya peradaban.
Seorang dai
menikah dengan visinya yang dahsyat, bukan hanya sekedar ingin menyempurnakan
dien saja, tetapi menikahnya dai untuk menjadi pondasi bagi tertegaknya dakwah,
menjadi landasan bagi bangkitnya sebuah peradaban, menjadi dasar kejayaan
ummat. Visi yang luar biasa, bukan visi sederhana yang bisa diraih dengan hanya
berdiam diri dan berdoa saja. Visi ideal yang banyak saya temui dalam diri
ikhwan dan akhwat yang berjuang demi agama ini. Mereka sangat menyadari
keluarga sebagai pondasi kejayaan ummat, maka mereka rela mengorbankan “rasa”
senang sementara untuk sebuah rasa yang jauh lebih nikmat untuk selamanya.
Visi ideal ini
hanya akan menjadi mimpi yang mengawang dan tak dapat diraih, jika tidak
didukung oleh jiwa-jiwa pemberani para ikhwan untuk menikahi akhwat tangguh dan
muntijah serta matang dalam pemikiran, sikap, psikologi, amanah, dakwah dan
tarbiyah. Visi ini tidak dapat dicapai jika tidak dilengkapi oleh sikap tha’at
dan tsiqoh para ikhwan tangguh yang menyerahkan proses ta’arufnya pada “guru”
ataupun jama’ah (bukan karena mereka tidak punya rasa, tapi justru karena
mereka terlalu sensitive perasaannya). Visi ini akan kita dapati hanya tinggal
puing-puing tak bernyawa jika para ikhwan masih mengalah pada syahwatnya dan
pasrah pada keadaan (afwan jika ikhwan yang menjadi tertuduh, karena dalam
diskusi panjang ternyata banyak akhwat yang memiliki visi ideal ini tapi hanya
meratapi visi itu dalam sebuah etalase tak tersentuh, menjadi dilema!).
Dalam beberapa
kisah, saya menemui banyak orang tua akhwat yang ingin anak gadisnya segera
menggenapkan agamanya, bisa jadi karena factor sunnah Rasulullah (wajib bagi
seorang ayah untuk bersegera menikahkan anak gadisnya), factor usia sang akhwat
(yang sudah sangat matang dan dewasa: bahasa yang diperhalus), factor amanah
(akhwat yang bekerja dan berdakwah di daerah terpencil yang butuh pendamping
segera misalnya), factor keluarga (desakan dari banyak pihak, bahkan percobaan
penjodohan _syukur gak ada pasal yang melarang penjodohan), dan factor-faktor
lain yang tidak bisa diungkap secara detail. Dalam masa-masa seperti ini,
akhwat berada dalam posisi yang sangat sulit, di satu sisi ingin mencapai
pernikahan barokah dan muntijah sesuai dengan prinsip mereka, di sisi yang lain
mereka dihadapkan pada factor-faktor di atas yang tidak bisa dielakkan.
Dilema!
Begitulah posisinya. Para akhwat didesak oleh keluarga untuk segera menikah,
bahkan dengan ancaman percobaan penjodohan (yang mungkin lelaki yang dipilihkan
keluarga bukanlah lelaki yang buruk perangainya, bukanlah lelaki yang tidak
baik ibadahnya, bukanlah lelaki yang tidak mapan imannya, hanya satu
masalahnya: lelaki itu bukan seorang “al akh” yang memiliki visi yang sama
dengan sang akhwat, lelaki itu tak pernah mengenal tarbiyah, apalagi dakwah,
yang mungkin dinilai akan berdampak buruk pada amanah dan dakwah sang akhwat
kedepannya –namun akan saya tekankan
kepada akhwat: jangan terjebak dengan label “ikhwan” dan jangan tiba-tiba
menolak lelaki hanif beriman yang datang tanpa terlebih dulu melibatkan Allah
dalam menentukan pilihan karena itu sebuah noda kesombongan. Dan mereka, lelaki
hanif yang beriman itu juga berhak untuk diistikharahkan) dan tolong dipikirkan berapa banyak energy yang habis untuk
membina pasangan yang mungkin sebenarnya tidak perlu terjadi jika mereka menikah
dengan al akh yang baik secara iman, dakwah, tarbiyah dan amanah. Tapi di sudut
yang lain, sang akhwat menanti ikhwan bervisi yang tak kunjung datang.
Menyisakan asa yang terlalu bersemangat seperti ombak, menggebu, berlari, kemudian
pergi dengan segera yang hanya meninggalkan buih-buih tak berarti.
Para akhwat
ditatapkan pada posisi super sulit, dari mulai sulit mengkomunikasikan visi
idealnya yang terkesan agak “asing” di telinga orang tua dan keluarga (dalam
hal ini akhwat tidak jarang menolak saat dijodohkan dengan lelaki yang
ditawarkan keluarga yang tidak punya visi yang sama), kondisi sulit yang
didesak oleh keluarga untuk segera menikah (meski banyak orang tua yang
akhirnya mengambil posisi menunggu dan mengalah karena sang akhwat terlalu
berharga untuk dinikahkan dengan lelaki biasa, atau mungkin bahkan karena tidak
ada lelaki gagah yang dimiliki bumi yang pantas menikahinya), kondisi sulit
sebagai makhluk halus paling berperasaan yang mengedepankan malu karena tidak
mungkin “minta-minta” sebelum ditawarkan (karena mereka berkaca diri untuk
menjadi sehebat dan semapan khadijah dalam masa sekarang), kondisi sulit dari
menjawab pertanyaan-pertanyaan (baik dari keluarga, teman, kerabat, tetangga,
setiap ada perhelatan pernikahan dan siapapun, mungkin bahkan pertanyaan dari dirinya
sendiri) yang seharusnya tidak ditanyakan_karena pertanyaan itu hanya perlu
didoakan, sebab mereka pun tak pernah tau jawabannya, dan banyak kondisi sulit
yang tidak mungkin dibongkar karena terlalu rahasia.
Terkadang
ditemui ikhwan yang sudah siap untuk mengambil keputusan menikah (yang terlihat
dari luar: baik secara psikologis, usia, kematangan, kedewasaan dan ekonomi)
yang ntah karena alasan apa lantas memilih menunda untuk menikah. Padahal
tidakkah mereka mengingat pesan Rasulullah: “Barang siapa yang dimudahkan
baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk
golonganku” (HR. Ath Thabrani dan Al baihaqi) dan pesan Rasul yang lain “Bukan
termasuk golonganku orang yang merasa khawatir dan terkungkung hidupnya karena
menikah, kemudian ia tidak menikah”. Ikhwan tangguh pasti menggenggam Sunnah
Rasulullah dengan gigi grahamnya.
Lelaki akan
jatuh pada pandangan matanya. Menjadi niscaya ketika criteria “cantik, tinggi,
putih, eye catching” menjadi syarat bagi calon pendamping. Sangat manusiawi. Tetapi
ikhwan tangguh pasti bisa mengalahkan syahwatnya atas Imannya!
Cinta itu
berdasarkan selera. Menjadi niscaya ketika ikhwan _yang juga dikenal sebagai
manusia biasa_ menjatuhkan pilihannya pada selera cintanya tanpa
mempertimbangkan kematangan sikap, psikologis, tarbiyah, dakwah dan amanah sang
wanita yang dimintanya. Tetapi ikhwan hebat pasti bisa menimbang dengan prasangkanya
terhadap Allah swt, pasti bisa berdamai dengan keinginan dirinya, bukannya
mengalah dan melanjurkan keniscayaan itu. Karena ikhwan hebat itu sangat
menyadari dan memahami taujih dari seorang Ust. Rahmat Abdullah bahwa “Dakwah
adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu,
perhatianmu, berjalan, duduk dan tidurmu, bahkan di tengah lelapmu, isi tidurmu
pun tentang dakwah. Tentang ummat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu
dakwah. Menyedot saripati energimu, sampai tulang belulangmu, sampai daging
terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret.
Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari”. Begitulah dakwah bekerja. Sangat
dahsyat, mengambil seluruh perhatianmu, bahkan untuk sesuatu yang mungkin
terpikir olehmu menjadi hak prerogatifmu, menikah.
Berbakti kepada
orang tua adalah wajib. Menjadi niscaya seorang lelaki beriman (baca: ikhwan)
tunduk pada perintah orang tua dan mengamini keinginan mereka untuk menikah
dengan wanita pilihan orang tua, sekali lagi tanpa pertimbangan kematangan
sikap, psikologis, tarbiyah, amanah dan dakwah. Sadarilah, bahwa ikhwan dahsyat
selalu memiliki ruang untuk memilih dan menentukan sikap, karena itu standard kedewasaannya.
“Jangan mengalah
pada takdir! Jangan pasrah pada keadaan!” pesan ini yang bisa disampaikan untuk
para ikhwan bervisi. Mereka bisa menjadi ikhwan tangguh, hebat dan super
dahsyat dengan mengalahkan syahwatnya atas imannya, dengan mengedepankan
persangkaan Allah atas dirinya, dengan tetap bisa berbakti pada orang tua atas
kedewasaannya.
Jangan mengalah pada takdir! Jika ada yang
lebih baik, sungguh, yang baik saja tidak cukup. JIka ada yang lebih shalih,
sungguh, yang shalih saja tidak cukup. Jangan mengalah pada keadaan. Pilihlah
yang terbaik dari yang baik, pilihlah yang tershalih dari yang shalih! Letaknya
pada mental, bagaimana setiap diri mampu mempersiapkan mental dan dirinya
menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi setiap harinya, bagaimana
setiap individu mempersiapkan diri, jiwa, dan imannya sehingga ia layak diberi
yang terbaik oleh Allah!
Ya, begitulah
para ikhwan dan akhwat luar biasa yang memperjuangkan visinya dalam menikah,
mereka tidak perlu PEMBENARANAN makhluk atas sikapnya, mereka hanya perlu
berfikir, mempertimbangkan dan memilih serta menjatuhkan pilihan dengan BENAR
atas prasangkanya terhadap Allah.
Catatan: ini bukan hanya untuk
ikhwan, tetapi juga akhwat. Jangan mengalah pada Takdir! Jangan pasrah pada
Keadaan!
Harapan dan Doa:
Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, mengambil pelajaran
dari setiap kejadian, semakin kuat karakter pribadi dengan ujian yang dihadapi.
Aamiin Ya Rabb…
(hest, bumi
Allah: 04062011: 00.12)