SELAMAT DATANG DI BLOG KOLEKSI TAUJIH

Semoga Bermanfaat

Senin, 25 November 2013

Tausyiah Pernikahan : Kapan Saatnya Memutuskan untuk Menikah ?

Oleh : Ustadz Cahyadi Takariawan


Pada saat saya mengisi forum Kuliah Pranikah yang digelar oleh Muslimah Care Center (MCC) Yogyakarta, saya mendapatkan pertanyaan yang menarik. ”Kapankah saat yang tepat untuk mengambil keputusan menikah?” Pertanyaan ini berkaitan dengan tiga tahap perasaan manusia kepada pasangan jenisnya yang saya jelaskan di forum itu.
Sebagaimana telah sering saya posting di Kompasiana, pernikahan adalah suatu bentuk peribadatan. Nikah tidak semata-mata karena keinginan pribadi seorang laki-laki dan perempuan, namun menikah memiliki sejumlah agenda yang sakral dan sangat menentukan masa depan peradaban kemanusiaan. Maka mengambil keputusan untuk menikah, semestinya dilakukan pada saat yang tepat. Apakah perlu menunggu jatuh cinta baru memutuskan untuk menikah?
Tiga Tahap Menuju Jatuh Cinta
Jatuh hati atau jatuh cinta, saya sebut sebagai tahap ketiga dari perasaan manusia kepada pasangan jenisnya. Ini untuk menyederhanakan pembagian atau penahapan perasaan. Saya sebut sebagai ”pasangan jenis”, bukan lawan jenis, karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan adalah berpasangan, bukan berlawanan. Jadi, istilah yang tepat untuk laki-laki dan perempuan bukan lawan jenis, melainkan pasangan jenis.
Tahap pertama dari perasaan seseorang kepada pasangan jenisnya adalah simpatik atau tahap ketertarikan, yaitu respons dan apresiasi positif kepada pasangan jenis. Misalnya seorang perempuan mengatakan, “Saya senang bergaul dengan Budi, karena orangnya baik dan bisa dipercaya.” Atau seorang lelaki mengatakan, “Saya senang berteman dengan Lina, karena orangnya ramah dan pandai berkomunikasi.”
Perasaan tahap pertama ini bersifat masih sangat umum, walaupun sudah mengarah kepada respons dan apresiasi yang positif. Sebab, ada respons negatif, misalnya ungkapan seorang perempuan, Saya jengkel sekali dengan Iwan. Orangnya tidak bisa dipercaya dan semau sendiri.” Atau ungkapan seorang lelaki, Saya tidak suka berteman dengan Reni, karena orangnya sombong.” Nah, ini contoh perasaan yang tidak simpatik.
Apabila perasaan simpatik ini dipelihara, ditambah dengan adanya interaksi dan komunikasi yang rutin serta intensif maka memiliki peluang untuk meningkat kepada tahap kedua, yang saya sebut sebagai tahap kecenderungan hati. Pada tahap ini, seseorang mulai mendefinisikan perasaannya kepada pasangan jenis, tapi belum sampai memastikan. Misalnya seorang lelaki mengatakan, Saya cocok kalau menikah dengan Wati, dia adalah tipe perempuan idaman saya.” Artinya, lelaki ini telah memiliki kecenderungan hati kepada Wati.
Demikian pula jika seorang perempuan mengatakan, Saya mau menjadi istrinya Darmawan. Dia lelaki harapan saya.” Artinya, perempuan ini telah memiliki kecenderungan hati kepada Darmawan. Pada tahap kedua ini, perasaan semakin kuat pada pasangan jenis yang diharapkan akan menjadi pendamping hidupnya. Sifat perasaan pada tahap kedua ini masih cenderung rasional, masih bisa dikendalikan, dan masih bisa menerima masukan.
Apabila kecederungan hati ini dipelihara, ditambah dengan adanya interaksi rutin serta intensif, akan memiliki peluang untuk memasuki tahap ketiga, yaitu jatuh hati atautahap ketergantungan hati. Sebagian orang menyebutnya dengan jatuh cinta. Pada tahap ini, seseorang telah memastikan hubungan dengan pasangan jenis yang diharapkan menjadi pendamping hidupnya. Seorang lelaki mengatakan, Dian adalah satu-satunya perempuan ideal bagiku, tiada yang lain. Saya akan menikahinya.” Atau seorang perempuan mengatakan, Karim adalah satu-satunya lelaki ideal bagiku. Rasanya aku tak sanggup berpisah dengannya.”
Ya, inilah jatuh hati. Perasaan pada tahap ketiga ini tidak terdefinisikan, sulit dikendalikan, dan bercorak tidak rasional. Vina Panduwinata mengatakan, Ternyata asmara tak sama dengan logika.” Siti Nurhaliza mengungkapkan, jatuh cinta itu Tidur tak lena, mandi tak basah.” Bahkan, musisi Gombloh mengistilahkan ”tai kucing rasa coklat”. Dengan menyebut nama-nama penyanyi jadul ini, Anda sudah mengetahui berapa usia saya :)
Saya menyebut tahap ini sebagai jatuh hati, karena hatinya telah jatuh ke pangkuan pasangan jenis yang diidamkannya. Saya sebut juga sebagai ketergantungan hati, karena hati telah tergantung kepada seorang calon pendamping hidup. Ia sudah sulit untuk berpindah atau berpaling ke lain hati.
Kondisi Jatuh Hati
Pada tahap ini, seseorang sudah sulit menerima masukan dari orang lain. Apabila dikatakan kepada seorang perempuan, Hati-hati kamu berinteraksi dengan Andi. Dia itu tipe lelaki playboy, suka berganti-ganti pacar.” Pada tahap ketiga ini, perempuan tersebut akan melakukan pembelaan secara emosional, tidak rasional. Biasanya dia akan mengatakan, Kamu tidak mengerti siapa Andi. Aku yang lebih mengerti tentang Andi. Dia tidak seperti yang kamu tuduhkan.”
Perempuan yang jatuh cinta menjadi gelap mata. Ia tidak melihat ada laki-laki lain, kecuali si dia. Jatuh cinta telah membuatnya tidak bisa melihat sisi-sisi kekurangan dari si dia. Semua menjadi serbaindah, semua menjadi serbabaik. Kelak ketika sudah menikah, lalu ternyata keluarganya banyak masalah, ia baru sadar bahwa pilihannya menikah dengan si dia kurang cukup pertimbangan. Jatuh cinta telah membutakan mata hati dan kejernihan pikirannya.
Jika lelaki telah berada pada tahap ketiga ini, ia akan sulit mengontrol perilakunya kepada perempuan yang dicintai. Jika ada yang memberi nasihat, “Hati-hati kamu, jangan dekat-dekat dengan perempuan itu, dia bukan tipe yang cocok untuk kamu,” maka lelaki ini akan melakukan pembelaan. Kamu selalu mencurigai orang lain. Dia itu perempuan terbaik yang pernah aku jumpai. Dia bisa mengerti kemauanku, dan bisa menjadi tempat untuk berbagi. Dia selalu memberi motivasi sehingga hidupku lebih bersemangat”
Saya belum pernah merasakan suasana hati seperti ini. Sungguh, saya telah berjumpa bidadari. Dia sangat care, dan benar-benar memberikan support terhadap aktivitas saya. Setiap kali berbincang, kami selalu nyambung. Rasanya nyaman sekali ngobrol dengan dia.” Inilah ungkapan orang jatuh cinta.
Saya tidak gelap mata. Saya telah membandingkan banyak perempuan di mana-mana, dan hanya dia yang bisa mengerti semua kebutuhan saya. Luar biasa, dia sangat istimewa di mata saya. Tak ada bandingannya di mana pun juga. Tak mungkin saya melepaskannya.” Begitulah bahasa dan ungkapan orang jatuh cinta, sangat khas. Kecerdasan orang berkurang 85,97% saat jatuh cinta. Tiba-tiba ia kehilangan rasionalitas, dan sangat melankolis.
Tidak Rasional
Sering kali dijumpai peristiwa yang sangat aneh dalam pandangan akal sehat. Terkadang seorang lelaki muda belia jatuh cinta kepada perempuan paruh baya yang telah memiliki suami dan beberapa anak. Ia tidak cantik, tidak seksi, tidak ideal secara fisik, dan tidak pula kaya. Lalu apanya yang menyebabkan lelaki ini tergila-gila? Mengapa ia tidak tertarik dengan anak perempuannya yang masih muda dan lebih cantik? Ingat, bukan karena apa-apa’, tapi semua bisa bermula dari interaksi dan komunikasi, sehingga menimbulkan ketergantungan hati.
Terkadang, seorang laki-laki gagah dan cakep jatuh cinta kepada seorang perempuan bersuami dan memiliki beberapa anak, yang penampilannya sangat biasa. Ia bukan perempuan cantik mempesona, bukan perempuan yang ideal fisiknya, juga bukan perempuan kaya raya; namun ia demikian tergila-gila dengan perempuan tersebut. Apa sih yang dicari dari perempuan itu?
Dia sangat mengerti saya. Orangnya memang sederhana dan bersahaja. Namun, banyak hal saya dapatkan darinya,” begitu jawabnya. Sekali lagi, bukan mengapa bisa jatuh cinta kepada perempuan biasa’, karena semua bisa bermula dari interaksi dan komunikasi. Semua menjadi mungkin bagi manusia. Yang jelas, ia memang sangat istimewa. Di balik penampilannya yang sangat biasa, tersimpan daya tarik yang luar biasa,” jawabnya masih membela diri.
Sulit diterima dengan akal sehat, sulit untuk dimengerti kondisi itu secara pandangan logika. Karena jatuh cinta memang tidak sama dengan jalan logika.
Ambil Keputusan dengan Akal Sehat dan Hati Bersih
Nah, karena situasi orang yang jatuh cinta itu tidak rasional, sebaiknya Anda memutuskan untuk menikah dengan seseorang, pada kondisi yang masih rasional. Pada saat hubungan Anda dengan si dia belum sampai pada tahap ketiga. Dengan demikian, semua masih bisa dipertimbangkan, tidak membabi buta. Anda masih bisa memperbincangkan, mendiskusikan, memusyawarahkan soal pilihan pasangan hidup Anda dengan orang-orang yang Anda percaya. Saat mengambil keputusan menikah, harus berada dalam situasi bisa dipertanggungjawabkan dan berada dalam kesadaran yang utuh.
Jangan biarkan hati dan pikiran Anda dikuasai syahwat, yang menjerat akal sehat Anda sehingga tidak bisa lagi berpikir secara jernih. Ingatlah, menikah adalah untuk selamanya. Menikah itu tidak boleh diberi catatan kaki “jika tidak cocok, kita bisa bercerai”. Dalam ajaran agama, perceraian adalah perbuatan halal yang dibenci Tuhan. Artinya, agama mempersulit jalan untuk perceraian, namun mempermudah jalan untuk pernikahan.
Biarlah hati bersih dan akal sehat Anda menimbang secara jujur tentang pilihan pasangan hidup yang akan mendampingi Anda “selama-lamanya”. Ingat kata “selama-lamanya” ini, ingat ungkapan Susannah Fincannon yang pernah berjanji kepada Tristan untuk menunggu dia pulang, dan akan tetap setia menunggu Tristan “selama-lamanya”. Namun terlalu lama Susannah menunggu Tristan yang tidak kunjung pulang, sampai akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Alfred, saudara Tristan.
“Ternyata selama-lamanya itu lama,” kata Susannah. Itu kisah dari “Legends of The Fall”.
Ya, jangan dikira “selama-lamanya” itu cuma sebentar…. Maka ketika mengambil keputusan yang berdampak “selama-lamanya” harus dalam kondisi akal sehat dan hati bersih. Jangan memutuskan pada kondisi akal sehat sudah tidak berfungsi karena terlanjur jatuh cinta.
Mertosanan Kulon, Potorono, Banguntapan, Bantul, DIY, 55196

Sabtu, 16 November 2013

Taujih Pernikahan : Seni Memperhatikan

Oleh : Ustadz Anis Matta
Dalam "Serial Cinta"


Kalau intinya cinta adalah memberi, maka pemberian pertama seorang pencinta sejati adalah perhatian. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus memberi perhatian penuh kepada orang itu. Perhatian yang lahir dari lubuk hati paling dalam, dari keinginan yang tulus untuk memberikan apa saja yang diperlukan orang yang kamu cintai untuk menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.

Perhatian adalah pemberian jiwa: semacam penampakan emosi yang kuat dari keinginan baik kepada orang yang kita cintai. Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk memperhatikan. Tidak juga semua orang yang memiliki kesiapan mental memiliki kemampuan untuk terus memperhatikan.

Memperhatikan adalah kondisi di mana kamu keluar dari dalam dirimu menuju orang lain yang ada di luar dirimu.
Hati dan pikiranmu sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka independen secara emosional: kenyamanan psikologis tidak bersumber dari perhatian orang lain terhadap dirinya. Dan itulah musykilnya. Sebab sebagian orang besar lebih banyak terkungkung dalam dirinya sendiri. Mereka tidak bebas secara mental. Mereka lebih suka diperhatikan daripada memperhatikan. Itu sebabnya mereka selalu gagal mencintai.

Itulah kekuatan para pencinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh. Mereka berusaha secara terus-menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki seluk beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapannya.

Para pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan. Mereka memiliki kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama. Kesabaran itulah yang membuat orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya kepada mereka. Tapi kesabaran itu pula yang memberi mereka peluang untuk menyerap lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang mereka cintai.

Tapi di sini juga disimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona jiwa para pencinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara perlahan-lahan dan tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatianmu. Secara psikologis ia akan sangat menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan kehilangan yang sangat. Perhatian itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak berada di sisinya. Mungkin ia tidak mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya. ~ Anis Matta ~

Taujih Pernikahan : Pesona Jiwa

Oleh : Ustadz Anis Matta
Serial Cinta

Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menantikan pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.

Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.

Tapi selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.

Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa dan raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan”: kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pecinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah jangka panjang sesungguhnya adalah kebijakan jiwa mereka bersama.

Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.

Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.

Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau” bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.

Taujih Pernikahan : Komunikasi Suami-istri Itu Membahagiakan Hati

Oleh : Ustadz. Cahyadi Takariawan

Komunikasi merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kehidupan semua orang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana seseorang tidak berbicara dan tidak berkomunikasi dengan orang lain satu minggu saja. Pasti orang itu akan stress atau depresi, karena merasa hidup sendirian di muka bumi ini. Berkomunikasi adalah kebutuhan, sekaligus sarana yang mampu membahagiakan pelakunya. Apalagi bagi pasangan suami isteri.
Dalam kehidupan keluarga, suami dan isteri harus menjadi satu kesatuan, karena telah diikat dengan akad nikah yang sakral. Mereka tidak sekedar tinggal bersama dalam sebuah rumah, atau tidur bersama di suatu kamar. Pasangan suami isteri harus selalu berkomunikasi dan berinteraksi secara positif satu dengan yang lain. Tidak bisa dibayangkan bagaimana suami dan isteri yang saling mendiamkan tanpa komunikasi, padahal mereka hidup bersama dalam sebuah rumah tangga. Tentu akan sangat menyiksa.
Namun tidak jarang, problematika suami dan isteri justru bermula dari komunikasi ini. Seakan sudah saling mengerti, namun ternyata masih banyak yang gagal membangun komunikasi yang nyaman antara suami dan isteri. Pertengkaran, salah paham, ingin menang sendiri, kata-kata yang menyakitkan, saling menyalahkan, saling menuduh, ungkapan yang kasar, dan lain sebagainya, sering melanda kehidupan keluarga, yang akhirnya mengarah kepada konflik berkepanjangan dan membahayakan keutuhan serta kebahagiaan rumah tangga.
Sepuluh Kiat Komunikasi Suami Isteri
Agar komunikasi antara suami dan isteri bisa efektif, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak, sebagai berikut:
1. Komunikasi berlandaskan cinta
Suami dan isteri hendaknya selalu mengembangkan perasaan cinta dan kasih sayang di antara mereka. Dengan landasan cinta inilah akan muncul suasana komunikasi yang menyenangkan dan melegakan kedua belah pihak. Suami dan isteri menjauhkan diri dari perasaan saling curiga, saling tidak percaya, saling menuduh, saling menyalahkan, karena mereka berdua saling mencintai dan mengasihi serta saling menyayangi.
Sangat berbeda antara komunikasi yang berlandaskan cinta dengan benci. Jika landasannya benci, sangat mudah bagi suami dan isteri untuk saling mencaci maki dan saling           menyakiti. Muncullah kata-kata yang keras dan pedas, tidak ada kelemahlembutan dalam pergaulan sehari-hari, sehingga semakin lama mereka berdua semakin menjauh satu dengan lainnya.
2. Mengetahui ragam komunikasi
Hendaknya suami dan isteri mengetahui, bahwa komunikasi itu bukan hanya berbicara atau mengomong. Komunikasi itu adalah menyampaikan pesan secara tepat, maka media yang digunakan bisa beraneka macam. Sejak dari berbicara, menulis, ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga menyampaikan pesan lewat berbagai teknologi.
Ketika hanya mengetahui satu cara komunikasi, menyebabkan mereka akan cepat menemukan kesulitan saat satu-satunya cara tersebut mengalami kendala. Misalnya, suami isteri yang selama ini hanya mengandalkan komunikasi verbal dengan obrolan. Ketika mereka tengah menghadapi masalah, menjadi tidak bisa mengobrol, dan tidak mengerti cara lain untuk menyampaikan pesan kepada pasangan. Maka sangat penting untuk mengetahui berbagai ragam komunikasi, baik verbal maupun non verbal, baik langsung maupun tak langsung.
3. Bersikap empati
Yang dimaksud dengan empati adalah memposisikan diri pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami pasangan. Jangan memaksakan kehendak kepada pasangan, atau memaksa pasangan berpikir dan merasakan seperti situasi pikiran serta perasaan dirinya. Hendaknya memahami situasi yang tengah dihadapi oleh pasangan, sehingga lebih tepat dalam membangun komunikasi.
Misalnya ketika isteri tengah sedih dan menangis, hendaknya suami bisa empati perasaan tersebut dan mencoba memahami kesedihannya. Atau ketika suami sedang emosi, hendaknya isteri mencoba memahami situasi yang tengah dihadapi suami, sehingga tidak dihadapi dengan emosi pula. Komunikasi lebih nyaman jika saling bisa mengerti suasana jiwa dan pikiran pasangan.
4. Fleksibel dan egaliter
Hendaknya suami dan isteri bisa fleksibel dalam gaya komunikasi, dan menjauhi sikap-sikap kaku. Suatu ketika komunikasi memerlukan suasana dan gaya yang serius, namun ada kalanya lebih efektif menggunakan suasana dan gaya yang santai, tergantung materi pembicaraan dan tujuan dari komunikasi yang dilakukan. Suami dan isteri yang bisa luwes dalam berkomunikasi, akan menjadi pribadi yang memikat, karena akan cenderung menyenangkan pasangan.
Ketika membangun sikap yang kaku, feodal, serta berjarak antara suami dan isteri, akan muncul pula kekakuan dan jarak dalam hubungan secara umum. Misalnya suami yang tidak bisa bercanda, hendaknya bisa menikmati gaya isteri yang senang bercanda. Atau seorang isteri yang tidak suka suasana serius, hendaknya bisa berkomunikasi dengan suami walau suasananya serius. Dengan keluwesan komunikasi, akan menciptakan tautan hati antara suami dan isteri.
5. Memahami bahasa nonverbal
Komunikasi tidak selalu dilakukan dengan cara-cara formal dan verbal. Kadang ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasangan anda sudah mengisyaratkan sesuatu pesan tertentu. Tanpa berbicara, tanpa mengobrol, tanpa menulis pesan, namun ada banyak pesan tersampaikan lewat ekspresi wajah dan bahasa tubuh lainnya.
Belaian, tangisan, elusan, pelukan, senyum mesra, kerlingan mata, anggukan kepala, jabat tangan, ciuman di kening, wajah yang merona, dan lain sebagainya, sesungguhnya sudah menyampaikan banyak pesan. Kemampuan memahami dan mengerti pesan yang tersampaikan lewat komunikasi nonverbal ini, akan sangat banyak membantu mengatasi kebuntuan hubungan antara suami dengan isteri.
6. Menjadi pendengar yang baik
Jangan menguasai komunikasi dengan terlalu banyak bicara dan tidak mau mendengar. Suasana komunikasi menjadi tidak nyaman jika bercorak searah, dari suami ke isteri, atau dari isteri ke suami. Satu pihak mendominasi pembicaraan dan yang lain hanya mendengarkan. Hendaknya suami dan isteri mampu menjadi pendengar yang baik bagi pasangannya.
Kadang dijumpai gaya komunikasi yang sangat dominan pada satu pihak, sehingga membuat pihak lainnya menjadi tidak berdaya dan tidak bisa mengungkapkan keinginan serta pendapatnya. Padahal salah satu maksud komunikasi adalah agar keinginan, pendapat, curahan perasaan, bisa tersampaikan kepada pasangan. Jika komunikasi berjalan searah, bisa dipastikan ada pihak yang tertekan secara perasaan dan kejiwaan, karena tidak bisa mengekspresikan keinginan dan pendapat.
7. Tidak menyakiti hati
Komunikasi akan membuat bahagia, apabila dilakukan dengan penuh kelegaan. Tidak ada kalimat dan gaya bahasa yang menyakiti hati pasangan, atau menyinggung perasaannya. Walaupun rutin berkomunikasi, namun ketika dilakukan dengan arogan, banyak umpatan, banyak kritikan, dengan cara dan gaya yang menyinggung perasaan, maka justru akan semakin menambah parah persoalan keluarga.
Suami dan isteri hendaknya saling menjaga agar kedua belah pihak saling menghormati, saling menghargai, saling mengerti, saling memahami, walaupun dalam komunikasi kadang dijumpai perbedaan keinginan serta perbedaan pendapat. Kendati muncul beda pendapat, beda keinginan, beda persepsi, namun tidak boleh saling menyakiti hati dan perasaan. Suami dan isteri harus tetap saling menghormati dan menjaga kebaikan hubungan mereka.
8. Lembut dan bijak
Salah satu kunci tersampaikannya pesan dalam komunikasi adalah cara penyampaian pesan itu sendiri. Komunikasi suami dan isteri bukanlah antara atasan dengan bawahan, bukan pula antara komandan dengan prajurit, bukan antara majikan dengan buruh. Komunikasi antara suami dengan isteri hendaklah dilakukan dalam suasana yang menyejukkan dan melegakan, bukan dengan bentakan dan hardikan.
Sampaikan pesan dengan lembut dan bijak. Jangan berlaku kasar dalam komunikasi karena suami dan isteri adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dan saling mengasihi. Tidak layak mereka saling berlaku keras dan kasar dalam komunikasi. Sampaikan keinginan dengan bahasa yang sopan dan enak didengarkan. Sampaikan pendapat dengan cara yang lembut dan bijak, tidak terkesan arogan, menggurui dan memaksakan kehendak.
9. Mengalah demi kebaikan bersama
Suami dan isteri sama-sama memiliki ego, dan masing-masing berkecenderungan untuk memenangkan egonya. Ketika suami dan isteri bersedia menundukkan ego, bersedia mengalah demi kebaikan bersama, maka komunikasi akan sangat lancar dan tidak berbelit-belit. Ego yang mengajak manusia untuk selalu merasa benar, selalu ingin menang, tidak mau mengalah dan dikalahkan. Ego yang mengajak manusia untuk berat meminta maaf dan mengakui kesalahan.
Jika suami dan isteri bersedia menundukkan ego masing-masing, segala persoalan di antara mereka akan sangat mudah diselesaikan. Mengalah itu tidaklah berarti kalah. Mengalah itu adalah bagian dari seni berkomunikasi. Apalagi ketika hal itu dilakukan antara suami dengan isteri, maka sudah sepantasnya mereka berlomba mengalah demi kebaikan pasangan.
10. Tepat memilih waktu, tempat dan suasana
Sesungguhnya komunikasi harus dilakukan kapanpun dan dimanapun. Namun komunikasi akan lebih nyaman apabila dilakukan pada waktu yang tepat, tempat yang kondusif dan suasana yang mendukung. Pilih waktu, suasana dan tempat yang tepat untuk mendukung kelancaran berkomunikasi, terutama apabila materi komunikasi menyangkut hal yang sangat serius atau hal-hal yang besar.
Ketepatan dalam memilih waktu, tempat dan suasana ini menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan tersampaikannya pesan-pesan dalam komunikasi, dan terselesaikannya berbagai persoalan yang dibicarakan dalam komunikasi. Suami dan isteri harus pandai menentukan, untuk berbincang tentang sesuatu tema, dilakukan kapan, dimana dan dalam suasana seperti apa. Jika memilih waktu, tempat dan suasana yang tidak tepat, akan menjadi kendala yang menghalangi kehangatan komunikasi.
Demikianlah sepuluh kiat yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi antara suami dengan isteri. Selamat membangun komunikasi yang sehat bersama pasangan. Dan rasakan, betapa bahagia hati kita apabila mampu membangun komunikasi yang nyaman dengan pasangan.

Taujih Pernikahan: Tujuan-tujuan Mulia Menikah dan Berkeluarga

Penulis : Ust. Cahyadi Takariawan









Menikah dan berkeluarga itu bukan persoalan keinginan seseorang. Oleh karena itu, lelaki dan perempuan lajang tidak perlu ditanya apakah mereka pengin menikah atau tidak, karena menikah itu bukan soal pengin. Kalau menikah dipahami hanya persoalan pengin, maka ada orang tidak mau menikah dengan alasan tidak pengin, dan ada orang yang menikah setiap hari karena selalu pengin. Menikah adalah tugas peradaban, karena hanya dengan pernikahanlah akan lahir peradaban kemanusiaan yang mulia di masa depan.
Lelaki dan perempuan lajang hendaklah menyiapkan diri menuju pernikahan yang sesuai dengan tuntunan agama dan aturan negara. Jika belum memiliki cukup kekuatan motivasi untuk menikah, perhatikanlah berbagai tujuan mulia dari pernikahan yang dituntunkan agama. Menikah itu bukan semata-mata penyaluran hasrat biologis, namun menikah merupakan sarana terbentuknya masyarakat, bangsa dan negara yang kuat serta bermartabat.
Menikah memiliki tujuan-tujuan mulia dan jelas. Bukan semata-mata urusan pribadi seseorang. Di antara tujuan pernikahan adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan tuntunan para Rasul
Menikah adalah ajaran para Nabi dan Rasul. Hal ini menunjukkan, pernikahan bukan semata-mata urusan kemanusiaan semata, namun ada sisi Ketuhanan yang sangat kuat. Oleh karena itulah menikah dicontohkan oleh para Rasul dan menjadi bagian dari ajaran mereka, untuk dicontoh oleh umat manusia.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’du: 38).
Ayat di atas menjelaskan bahwa para Rasul itu menikah dan memiliki keturunan. Rasulullah Saw bersabda, “Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
2. Menguatkan Ibadah
Menikah adalah bagian utuh dari ibadah, bahkan disebut sebagai separuh agama. Tidak main-main, menikah bukan sekedar proposal pribadi untuk “kepatutan” dan “kepantasan” hidup bermasyarakat. Bahkan menikah menjadi sarana menggenapi sisi keagamaan seseorang, agar semakin kuat ibadahnya.
Nabi Saw bersabda,  “Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
3. Menjaga kebersihan dan kebaikan diri
Semua manusia memiliki instink dan kecenderungan kepada pasangan jenisnya yang menuntut disalurkan secara benar. Apabila tidak disalurkan secara benar, yang muncul adalah penyimpangan dan kehinaan. Banyaknya pergaulan bebas, fenomena aborsi di kalangan mahasiswa dan pelajar, kehamilan di luar pernikahan, perselingkuhan, dan lain sebagainya, menjadi bukti bahwa kecenderungan syahwat ini sangat alami sifatnya. Untuk itu harus disalurkan secara benar dan bermartabat, dengan pernikahan.
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai para pemuda,  barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya” (Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, dan Baihaqi).
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari dua keburukan maka ia akan masuk surga: sesuatu di antara dua bibir (lisan) dan sesuatu di antara dua kaki (kemaluan)” (HR. Tirmidzi dan Al Hakim. Albani mentashihkan dalam As Sahihah).
4. Mendapatkan ketenangan jiwa
Perasaan tenang, tenteram, nyaman atau disebut sebagai sakinah, muncul setelah menikah. Tuhan memberikan perasaan tersebut kepada laki-laki dan perempuan yang melaksanakan pernikahan dengan proses yang baik dan benar. Sekedar penyaluran hasrat biologis tanpa menikah, tidak akan bisa memberikan perasaan ketenangan dalam jiwa manusia.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar Rum:21).
5. Mendapatkan keturunan
Tujuan mulia dari pernikahan adalah mendapatkan keturunan. Semua orang memiliki kecenderungan dan perasaan senang dengan anak. Bahkan Nabi menuntutkan agar menikahi perempuan yang penuh kasih sayang serta bisa melahirkan banyak keturunan. Dengan memiliki anak keturunan, akan memberikan jalan bagi kelanjutan generasi kemanusiaan di muka bumi. Jenis kemanusiaan akan terjaga dan tidak punah, yang akan melaksanakan misi kemanusiaan dalam kehidupan.
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik” (QS. An-Nahl : 72).
6. Investasi akhirat
Anak adalah investasi akhirat, bukan semata-mata kesenangan dunia. Dengan memiliki anak yang salih dan salihah, akan memberikan kesempatan kepada kedua orang tua untuk mendapatkan surga di akhirat kelak.
Rasulullah Saw bersabda, “Di hari kiamat nanti orang-orang disuruh masuk ke dalam surga, namun mereka berkata: wahai Tuhan kami, kami akan masuk setelah ayah dan ibu kami masuk lebih dahulu. Kemudian ayah dan ibu mereka datang. Maka Allah berfirman: Kenapa mereka masih belum masuk ke dalam surga, masuklah kamu semua ke dalam surga. Mereka menjawab: wahai Tuhan kami, bagaimana nasib ayah dan ibu kami? Kemudian Allah menjawab: masuklah kamu dan orang tuamu ke dalam surga” (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya).
7. Menyalurkan fitrah
Di antara fitrah manusia adalah berpasangan, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjadi pasangan agar saling melengkapi, saling mengisi, dan saling berbagi. Kesendirian merupakan persoalan yang membuat ketidakseimbangan dalam kehidupan. Semua orang ingin berbagi, ingin mendapatkan kasih sayang dan menyalurkan kasih sayang kepada pasangannya.
Manusia juga memiliki fitrah kebapakan serta keibuan. Laki-laki perlu menyalurkan fitrah kebapakan, perempuan perlu menyalurkan fitrah keibuan dengan jalan yang benar, yaitu menikah dan memiliki keturunan. Menikah adalah jalan yang terhormat dan tepat untuk menyalurkan berbagai fitrah kemanusiaan tersebut.
8. Membentuk peradaban
Menikah menyebabkan munculnya keteraturan hidup dalam masyarakat. Muncullah keluarga sebagai basis pendidikan dan penanaman nilai-nilai kebaikan. Lahirlah keluarga-keluarga sebagai pondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan menikah, terbentuklah tatanan kehidupan kemasyarakatan yang ideal. Semua orang akan terikat dengan keluarga, dan akan kembali kepada keluarga.
Perhatikanlah munculnya anak-anak jalanan yang tidak memiliki keluarga atau terbuang dari keluarga. Mereka menggantungkan kehidupan di tengah kerasnya kehidupan jalanan. Padahal harusnya mereka dibina dan dididik di tengah kelembutan serta kehangatan keluarga. Mereka mungkin saja korban dari kehancuran keluarga, dan tidak bisa dibayangkan peradaban yang akan diciptakan dari kehidupan jalanan ini.
Peradaban yang kuat akan lahir dari keluarga yang kuat. Maka menikahlah untuk membentuk keluarga yang kuat. Dengan demikian kita sudah berkontribusi menciptakan lahirnya peradaban yang kuat serta bermartabat.