SELAMAT DATANG DI BLOG KOLEKSI TAUJIH

Semoga Bermanfaat

Kamis, 05 Desember 2013

ARTIKEL : Pernikahan Bervisi, Idealita yang Terlalu Mengawang Tinggi



Oleh : irreplaceable_hest@yahoo.co.id

Sebuah catatan. Pernikahan adalah satu dari tiga hal yang sangat dianjurkan untuk disegerakan (ingat, bukan tergesa-gesa). Tepatnya sebuah catatan bagi para lelaki beriman (yang telah siap), juga bagi para orang tua yang memiliki anak gadis untuk bersegera menikahkan anak gadisnya dengan lelaki baik-baik dan beriman jika sudah sampai masanya.
Seorang dai bukanlah milik dirinya sendiri, bukan pula milik orang tuanya saja, juga bukan hanya milik keluarga besar, tapi seorang dai hidup untuk keluarga, dakwah dan ummat. Sampai pada saat seorang dai harus memutuskan untuk menikah, bukan hanya mengandalkan perasaan, kecendrungan, ketertarikan, ketergantungan hati, bahkan juga bukan hanya pertimbangan orang tua atau keluarga (walau hal ini juga menjadi pertimbangan, tapi tidaklah menjadikannya mengalah pada keadaan), tetapi menikahnya seorang dai jauh lebih agung dari menikahnya para lajang di luar sana, mereka memilki pertimbangan lain yang harusnya lebih didahulukan, yups… pertimbangan dakwah, ummat dan bangkitnya peradaban.
Seorang dai menikah dengan visinya yang dahsyat, bukan hanya sekedar ingin menyempurnakan dien saja, tetapi menikahnya dai untuk menjadi pondasi bagi tertegaknya dakwah, menjadi landasan bagi bangkitnya sebuah peradaban, menjadi dasar kejayaan ummat. Visi yang luar biasa, bukan visi sederhana yang bisa diraih dengan hanya berdiam diri dan berdoa saja. Visi ideal yang banyak saya temui dalam diri ikhwan dan akhwat yang berjuang demi agama ini. Mereka sangat menyadari keluarga sebagai pondasi kejayaan ummat, maka mereka rela mengorbankan “rasa” senang sementara untuk sebuah rasa yang jauh lebih nikmat untuk selamanya.
Visi ideal ini hanya akan menjadi mimpi yang mengawang dan tak dapat diraih, jika tidak didukung oleh jiwa-jiwa pemberani para ikhwan untuk menikahi akhwat tangguh dan muntijah serta matang dalam pemikiran, sikap, psikologi, amanah, dakwah dan tarbiyah. Visi ini tidak dapat dicapai jika tidak dilengkapi oleh sikap tha’at dan tsiqoh para ikhwan tangguh yang menyerahkan proses ta’arufnya pada “guru” ataupun jama’ah (bukan karena mereka tidak punya rasa, tapi justru karena mereka terlalu sensitive perasaannya). Visi ini akan kita dapati hanya tinggal puing-puing tak bernyawa jika para ikhwan masih mengalah pada syahwatnya dan pasrah pada keadaan (afwan jika ikhwan yang menjadi tertuduh, karena dalam diskusi panjang ternyata banyak akhwat yang memiliki visi ideal ini tapi hanya meratapi visi itu dalam sebuah etalase tak tersentuh, menjadi dilema!).
Dalam beberapa kisah, saya menemui banyak orang tua akhwat yang ingin anak gadisnya segera menggenapkan agamanya, bisa jadi karena factor sunnah Rasulullah (wajib bagi seorang ayah untuk bersegera menikahkan anak gadisnya), factor usia sang akhwat (yang sudah sangat matang dan dewasa: bahasa yang diperhalus), factor amanah (akhwat yang bekerja dan berdakwah di daerah terpencil yang butuh pendamping segera misalnya), factor keluarga (desakan dari banyak pihak, bahkan percobaan penjodohan _syukur gak ada pasal yang melarang penjodohan), dan factor-faktor lain yang tidak bisa diungkap secara detail. Dalam masa-masa seperti ini, akhwat berada dalam posisi yang sangat sulit, di satu sisi ingin mencapai pernikahan barokah dan muntijah sesuai dengan prinsip mereka, di sisi yang lain mereka dihadapkan pada factor-faktor di atas yang tidak bisa dielakkan.
Dilema! Begitulah posisinya. Para akhwat didesak oleh keluarga untuk segera menikah, bahkan dengan ancaman percobaan penjodohan (yang mungkin lelaki yang dipilihkan keluarga bukanlah lelaki yang buruk perangainya, bukanlah lelaki yang tidak baik ibadahnya, bukanlah lelaki yang tidak mapan imannya, hanya satu masalahnya: lelaki itu bukan seorang “al akh” yang memiliki visi yang sama dengan sang akhwat, lelaki itu tak pernah mengenal tarbiyah, apalagi dakwah, yang mungkin dinilai akan berdampak buruk pada amanah dan dakwah sang akhwat kedepannya –namun akan saya tekankan kepada akhwat: jangan terjebak dengan label “ikhwan” dan jangan tiba-tiba menolak lelaki hanif beriman yang datang tanpa terlebih dulu melibatkan Allah dalam menentukan pilihan karena itu sebuah noda kesombongan. Dan mereka, lelaki hanif yang beriman itu juga berhak untuk diistikharahkan) dan tolong dipikirkan berapa banyak energy yang habis untuk membina pasangan yang mungkin sebenarnya tidak perlu terjadi jika mereka menikah dengan al akh yang baik secara iman, dakwah, tarbiyah dan amanah. Tapi di sudut yang lain, sang akhwat menanti ikhwan bervisi yang tak kunjung datang. Menyisakan asa yang terlalu bersemangat seperti ombak, menggebu, berlari, kemudian pergi dengan segera yang hanya meninggalkan buih-buih tak berarti.
Para akhwat ditatapkan pada posisi super sulit, dari mulai sulit mengkomunikasikan visi idealnya yang terkesan agak “asing” di telinga orang tua dan keluarga (dalam hal ini akhwat tidak jarang menolak saat dijodohkan dengan lelaki yang ditawarkan keluarga yang tidak punya visi yang sama), kondisi sulit yang didesak oleh keluarga untuk segera menikah (meski banyak orang tua yang akhirnya mengambil posisi menunggu dan mengalah karena sang akhwat terlalu berharga untuk dinikahkan dengan lelaki biasa, atau mungkin bahkan karena tidak ada lelaki gagah yang dimiliki bumi yang pantas menikahinya), kondisi sulit sebagai makhluk halus paling berperasaan yang mengedepankan malu karena tidak mungkin “minta-minta” sebelum ditawarkan (karena mereka berkaca diri untuk menjadi sehebat dan semapan khadijah dalam masa sekarang), kondisi sulit dari menjawab pertanyaan-pertanyaan (baik dari keluarga, teman, kerabat, tetangga, setiap ada perhelatan pernikahan dan siapapun, mungkin bahkan pertanyaan dari dirinya sendiri) yang seharusnya tidak ditanyakan_karena pertanyaan itu hanya perlu didoakan, sebab mereka pun tak pernah tau jawabannya, dan banyak kondisi sulit yang tidak mungkin dibongkar karena terlalu rahasia.
Terkadang ditemui ikhwan yang sudah siap untuk mengambil keputusan menikah (yang terlihat dari luar: baik secara psikologis, usia, kematangan, kedewasaan dan ekonomi) yang ntah karena alasan apa lantas memilih menunda untuk menikah. Padahal tidakkah mereka mengingat pesan Rasulullah: “Barang siapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR. Ath Thabrani dan Al baihaqi) dan pesan Rasul yang lain “Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir dan terkungkung hidupnya karena menikah, kemudian ia tidak menikah”. Ikhwan tangguh pasti menggenggam Sunnah Rasulullah dengan gigi grahamnya.
Lelaki akan jatuh pada pandangan matanya. Menjadi niscaya ketika criteria “cantik, tinggi, putih, eye catching” menjadi syarat bagi calon pendamping. Sangat manusiawi. Tetapi ikhwan tangguh pasti bisa mengalahkan syahwatnya atas Imannya!
Cinta itu berdasarkan selera. Menjadi niscaya ketika ikhwan _yang juga dikenal sebagai manusia biasa_ menjatuhkan pilihannya pada selera cintanya tanpa mempertimbangkan kematangan sikap, psikologis, tarbiyah, dakwah dan amanah sang wanita yang dimintanya. Tetapi ikhwan hebat pasti bisa menimbang dengan prasangkanya terhadap Allah swt, pasti bisa berdamai dengan keinginan dirinya, bukannya mengalah dan melanjurkan keniscayaan itu. Karena ikhwan hebat itu sangat menyadari dan memahami taujih dari seorang Ust. Rahmat Abdullah bahwa “Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu, perhatianmu, berjalan, duduk dan tidurmu, bahkan di tengah lelapmu, isi tidurmu pun tentang dakwah. Tentang ummat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu dakwah. Menyedot saripati energimu, sampai tulang belulangmu, sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari”. Begitulah dakwah bekerja. Sangat dahsyat, mengambil seluruh perhatianmu, bahkan untuk sesuatu yang mungkin terpikir olehmu menjadi hak prerogatifmu, menikah.
Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Menjadi niscaya seorang lelaki beriman (baca: ikhwan) tunduk pada perintah orang tua dan mengamini keinginan mereka untuk menikah dengan wanita pilihan orang tua, sekali lagi tanpa pertimbangan kematangan sikap, psikologis, tarbiyah, amanah dan dakwah. Sadarilah, bahwa ikhwan dahsyat selalu memiliki ruang untuk memilih dan menentukan sikap, karena itu standard kedewasaannya.
“Jangan mengalah pada takdir! Jangan pasrah pada keadaan!” pesan ini yang bisa disampaikan untuk para ikhwan bervisi. Mereka bisa menjadi ikhwan tangguh, hebat dan super dahsyat dengan mengalahkan syahwatnya atas imannya, dengan mengedepankan persangkaan Allah atas dirinya, dengan tetap bisa berbakti pada orang tua atas kedewasaannya.
 Jangan mengalah pada takdir! Jika ada yang lebih baik, sungguh, yang baik saja tidak cukup. JIka ada yang lebih shalih, sungguh, yang shalih saja tidak cukup. Jangan mengalah pada keadaan. Pilihlah yang terbaik dari yang baik, pilihlah yang tershalih dari yang shalih! Letaknya pada mental, bagaimana setiap diri mampu mempersiapkan mental dan dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi setiap harinya, bagaimana setiap individu mempersiapkan diri, jiwa, dan imannya sehingga ia layak diberi yang terbaik oleh Allah!
Ya, begitulah para ikhwan dan akhwat luar biasa yang memperjuangkan visinya dalam menikah, mereka tidak perlu PEMBENARANAN makhluk atas sikapnya, mereka hanya perlu berfikir, mempertimbangkan dan memilih serta menjatuhkan pilihan dengan BENAR atas prasangkanya terhadap Allah.
Catatan: ini bukan hanya untuk ikhwan, tetapi juga akhwat. Jangan mengalah pada Takdir! Jangan pasrah pada Keadaan!
Harapan dan Doa: Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, mengambil pelajaran dari setiap kejadian, semakin kuat karakter pribadi dengan ujian yang dihadapi. Aamiin Ya Rabb…

(hest, bumi Allah: 04062011: 00.12)