SELAMAT DATANG DI BLOG KOLEKSI TAUJIH

Semoga Bermanfaat

Sabtu, 12 September 2015

Taujih : Tak Akan Bisa Sempurna Di Jalan Dakwah

Setelah sekian tahun ternyata saya tak pernah bisa untuk menjadi sempurna di jamaah ini. Jalan dakwah yang indah ini telah memberiku sebuah pelajaran penting betapa di tempat yang paling baik sekalipun sebagai hambanya yang lemah dan hina tak akan pernah luput untuk berbuat dosa dan khilaf. Allah sajalah yang maha sempurna. Inilah 10 bukti betapa lemah dan berdosanya saya di jamaah ini:

  • Lemahnya semangat tabayyun ketika menerima berita buruk.

Ketika menerima kabar baik tentang seorang ikhwah selalu ada rasa bangga dan senang. Tetapi ketika mendengar kabar buruk tentang ikhwah tesebut saya seolah langsung memberi stempel buruk kepada yang bersangkutan, padahal belum tentu benar. Mau tabayyun secara langsung ke orangnya rasanya juga risih. Malah lebih percaya pada si pembawa kabar burung bermulut ember. Kasian ikhwahnya yang ikut saya nikmati ‘daging’-nya. Astaghfirullah…

  • Menganggap para masyaikh, qiyadah, murobbi, naqib sebagai manusia istimewa.

Saya khawatir jika ini terus terjadi maka ketika suatu saat Allah menampakkan aib mereka maka saya tidak dapat mengendalikan syahwat emosional dan menganggap tidak ada lagi yang baik di jamaah ini sebab para ustadznya saya pada tidak beres apalagi yang di bawahnya. Astaghfirullah…

  • Merasa lebih mulia dari kaum ‘aammah.

Padahal mereka bisa jadi selalu diampuni oleh Allah karena ketidaktahuan atas kesalahannya. Bukankah menyembunyikan kebenaran yang seharusnya segera disampaikan  kepada mereka juga adalah sebuah dosa. Justeru saya akan menjadi lebih buruk jika mengetahui sesuatu kemudian tidak melaksanakannya. Astaghfirullah…

  • Merasa lebih baik dari kelompok dakwah yang lain.

Sebenarnya yang saya pahami adalah bahwa pilihan jalan dakwah yang saya tempuh ini cukup ‘tepat’ bagi diri saya, tetapi kenapa sulit sekali bagi diri ini untuk menekan anggapan pribadi yang merasa lebih baik dari kelompok dakwah yang berbeda bahkan terkadang suka sekali memberi komentar negatif tentang mereka. Astaghfirullah…

  • Sering abai dan merasa tak berdaya berdakwah di lingkungan keluarga.

Puluhan bahkan ratusan barangkali orang-orang yang ter-rekrut ke jamaah ini melalui kerja-kerja jamaah. Padahal di antara mereka tidak ada sama sekali yang merupakan keluarga terdekat. Jikapun ada satu atau dua yang itupun barangkali bukan karena melalui ikhtiar saya. Padahal diri ini begitu berharap dapat memberi hadiah terbaik bagi orang-orang yang kita cintai itu (ayah, ibu, paman, bibi, adik, kakak, sepupu, dll), namun seolah saya tak berdaya dan sampai sekarang masih bingung apa kendalanya. Astaghfirullah…

  • Lebih menonjol sikap ingin dimengerti daripada sikap peka terhadap kesulitan orang lain.

Saya selalu ingin dimengerti bahwa saya orang sibuk, banyak amanah, anak saya banyak, anak saya masih kecil-kecil, pekerjaan kantor saya menumpuk, jadwal saya padat, saya ini orang penting, dan berbagai keadaan lainnya. Sementara tidak sedikit ikhwah lainnya yang kondisinya jauh lebih sulit dan jauh lebih sibuk dari diri saya tetapi mereka malu menonjolkannya karena takut tidak akan kebagian amanah di jamaah ini. Astaghfirullah…

  • Setengah hati dalam berbagi nikmat, sepenuh hati dalam berbagi duka.

Ketika hidup saya disinggahi oleh nikmat seolah hanya ingin menikmatinya sendiri dulu. Apalagi nikmat itu adalah sesuatu yang begitu kita impikan. Berbagi saat lagi punya mood saja. Kalaupun mau berbagi semangatnya setengah hati.  Ibaratnya kalau punya 100, maka 1 bagian saja untuk orang lain. Itupun kalau ada yang meminta bantuan. Sudah begitu berharap kembali pula. Harapannya semoga Allah menggantinya menjadi 7 bagian seperti isi taujihnya Yusuf Mansur. Giliran dapat musibah, ehh… maunya semua orang tahu kalau saya lagi susah.

  • Terkadang semangat bicara mengalahkan semangat belajar dan bekerja.

Waktu lagi bahas agenda kerja dakwah hasrat bicara saya hampir tak bisa dibendung. Semua ide dan saran-saran saya tumpahkan hingga saya jadi pusat perhatian. Ngomong ngalor ngidul, nyuruh sana-sini, si  A harusnya begini, si B harusnya begini dan begitu, si C bikin ini dan bikin itu. Lah! Saya sendiri ngapain? Konsepnya jempol, realisasinya tumpul. Kadang juga bicaranya tidak berbobot karena kurang mempelajari masalah. Saya berbicara hanya ingin dianggap aktif dalam syuro’, tapi tataran lapangannya nihil. Astaghfirullah…

  • Jika sudah bekerja justeru menganggap yang lain tidak bekerja.

Kalau sudah bekerja biasanya diam-diam saya sering memperhatikan mereka yang aktif bersama-sama saja kemudian mengidentifikasi siapa saja yang tidak kelihatan di lapangan. Yang tidak kelihatan langsung masuk black list. Padahal sering saya tidak sadari mereka yang tidak terlihat di tengah medan dakwah, pekerjaan dan tanggungjawab mereka jauh lebih berat, pengorbanan mereka juga penuhh resiko. Ada juga yang bekerja dalam senyap dan ada juga yang menyicil pekerjaan dan tanggungjawab mereka di sela-sela kesibukan mereka yang sangat padat.

  • Menganggap semua kerja dakwah dapat tergantikan dengan uang.

Dana, alasan klasik yang tidak pernah usang. Amanah tidak dijalankan karena dananya belum cair. Gerakan jadi lambat karena dananya tidak cukup. Kalau begitu saya yang adakan uangnya, kalian yang kerja. Akhirnya sistem dalam jamaah dakwah berjalan seperti berjalannya perusahaan. Prinsip yang mengatakan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya butuh uang, adagium ini sungguh hampir menyesatkan saya. Saya hampir menjadi hamba uang yang telah banyak memperbudak banyak orang itu. Terlalu menyederhanakan kerja-kerja dakwah dengan uang membuat saya menjadi seperti tuan besar di tengah-tengah anak buah. Saham dakwah hanya terukur dari materi semata, sementara mereka yang tidak memiliki materi lebih seperti tidak penting lagi. Perasaan senasib sepenanggungan, kekompakan, keakraban, keceriaan dalam kebersamaan, dan hubungan erat adalah nilai-nilai yang lahir dari fungsi dan kerja dakwah yang tak dapat tergantikan dengan uang.
Permohonan maafku untuk para qiyadah dakwah dan semua ikhwah atas ketidaksempurnaan ini.



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/09/08/74269/tak-akan-bisa-sempurna-di-jalan-dakwah/#ixzz3lZ6CyMme 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Jumat, 11 September 2015

Mendidik Anak Berkarakter Islami

Guru dikenal dikenal sebagai profesi seseorang di sekolah yang bertugas mengajar anak-anak. Tetapi pada hakikatnya semua manusia merupakan seorang guru apabila ia dapat mengajarkan sesuatu yang bermanfaaat kepada orang lain. Tentulah salah satu peran guru berada pada orang tua. Tugas orang tua sebagai guru bersifat alami dan natural. Hal inilah yang akan membentuk bagaimana karakter seorang anak nantinya. Maka sangat penting bagi orang tua untuk memahami pendidikan karakter untuk anak.
Pendidikan karakter adalah pendidikan dalam membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991).
Karakter seorang anak terbentuk dari kebiasaannya sehari-hari. Karena kontinuitas inilah yang membentuk karakter secara permanen dan tahan lama. Teori-teori pendidikan pun bermunculan. Teori yang mengatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor lingkungan yang dipelopori oleh Jhon Locke yang dikenal sebagai teori Empirisme, Teori yang mengatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor hereditas atau pembawaan yang dipelopori oleh Arthur Schopen Hauer yang dikenal sebagi teori Nativisme, dan banyak lagi teori-teori yang mengemukakan perkembangan seorang anak serta faktor-faktornya.
Padahal apabila kita cermati, semua faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain, dari mulai keluarga, pembawaan serta lingkungan dimana anak itu tinggal. Apabila kita melihat dari pendidikan Islam untuk anak, sebenarnya kita bisa melatih karakter anak-anak itu pada kegiatan sehari-harinya sesuai dengan anjuran dan kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Beberapa hal yang dapat melatih karakter anak-anak antara lain:
Pertama, biasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan, minum, menulis dan menerima tamu. Mengajarkannya untuk mengawali setiap pekerjaan dengan bacaan basmalah terutama untuk makan dan minum. Dan harus dilakukan dengan duduk serta mengakhirinya dengan membaca hamdalah. Membiasakan anak-anak jujur dalam perkataan dan perbuatan. Hendaknya kita juga tidak berbohong kepada mereka, meskipun kita hanya bergurau. Jika kita menjanjikan sesuatu hendaknya kita penuhi.
Kedua, membiasakan anak untuk selalu menjaga kebersihan, memotong kukunya, mencuci kedua tangannya sebelum dan sesudah makan, dan mengajarinya untuk bersuci ketika buang air kecil dan buang air besar, sehingga tidak meninggalkan kotoran atau najis pada pakaiannya dan shalatnya menjadi sah.
Ketiga, berlemah lembut dalam memberi nasehat kepada mereka dengan cara rahasia. Tidak membuka kesalahan mereka di di depan umum. Jika mereka tetap membandel maka kita diamkan selama tiga hari, dan tidak boleh lebih dari itu. Ingatkan juga mereka supaya tidak kafir mencela dan melaknat orang serta berbicara yang jelek. Kita juga hendaknya menjaga ucapan di depan mereka agar menjadi teladan yang baik bagi mereka.
Keempat, memberi kasur pada setiap anak jika memungkinkan, jika tidak maka setiap anak diberikan selimut sendiri-sendiri. Akan lebih utama jika anak perempuan mempunyai kamar sendiri dan anak laki-laki mempunyai kamar sendiri, guna menjaga akhlak dan kesehatan mereka. Melarang anak membaca majalah dan gambar porno serta cerita-cerita komik persilatan dan seksualitas. Membatasi tontonan mereka di Televisi karena tontonan sekarang ini berbahaya bagi akhlak dan masa depan anak-anak.
Kelima, membiasakan untuk tidak membuang sampah di tengah jalan. Beritahu juga mereka akibat apabila membuang sampah jangan sembarangan. Berpesan juga kepada anak-anak untuk berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakiti mereka serta membiasakan anak bersikap hormat dan memuliakan tamu serta menghidangkan suguhan baginya.
Keenam, mengajarkan mereka untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran , tidak takut kecuali kepada Allah dan tidak menakut-nakuti mereka dengan cerita yang menakutkan serta mewaspadai pergaulan mereka dengan kawan-kawan yang nakal, mengawasi mereka, dan melarang mereka duduk-duduk di pinggir jalan.
Ketujuh, memberi salam kepada anak-anak di rumah, di jalan, dan di kelas dengan lafadzh Assalamu’alaikum, jangan biasakan menyapa dengan kata Hai, Hallo, ataupun ucapan salam lainnya, karena ucapan itu merupakan sebuah do’a. Jangan mendoakan kejelekan kepada anak , karena do’a baik maupun buruk kadang-kadang dikabulkan, dan mungkin menambah kesesatan mereka. Lebih baik jika kita mengatakan kepada anak, “Semoga Allah Memperbaikimu”. Biasakan juga budaya 5S kepada anak-anak (Salam, Senyum, Sapa, Sopan dan Santun).
Kedelapan, membiasakan anak-anak untuk memakai pakaian sesuai jenisnya sehingga pakaian wanita tidak sama dengan laki-laki, memberikan kain penutup aurat kepada anak perempuan sejak kecil supaya terbiasa pada saat dewasa serta menjauhi pakaian-pakaian ala Barat seperti celana dan baju yang sempit dan terbuka. Berikan juga pengetahuan kepada mereka tentang pentingnya menjaga aurat
Kesembilan, menyuruh anak-anak untuk diam ketika adzan berkumandang dan menjawab bacaan-bacaan adzan serta untuk anak laki-laki dibiasakan shalat berjamaah di masjid. Beritahu mereka juga dengan janji surga, bahwa surga akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan shalat, puasa, menaati kedua orang tua dan berbuat amalan yang diridhai oleh Allah serta menakut-nakuti mereka dengan neraka, bahwa neraka diperuntukkan bagi orang yang meninggalkan shalat, menyakiti orang tua, membenci Allah, melakukan hukum selain hukum Allah dan memakan harta orang dengan menipu, korupsi dan lain sebagainya.
Terakhir, memberikan cerita-cerita yang mendidik, bermanfaat dan islami, seperti serial cerita-cerita dalam alQuran dan sejarah Islam lainnya serta ceritakan juga perjuangan para sahabat-sahabat nabi yang terus semangat melawan kejahatan meskipun nyawa taruhannya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/08/04/72738/mendidik-anak-berkarakter-islami/#ixzz3lPWHaUjD 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook