SELAMAT DATANG DI BLOG KOLEKSI TAUJIH

Semoga Bermanfaat

Senin, 28 Desember 2015

Ladang Amal Birul Walidain

 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra` : 23)
***
Kebaikan adalah sebuah sifat yang mulia. Ia ada sebab kecintaan kepada Allah. Kebaikan juga dapat dikatakan sebagai pekerjaan nan mulia. Ia dikatakan baik apabila dilakukan dalam kesendirian. Bukan dalam keramaian pandangan manusia.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam pernah ditanyakan oleh sahabat mengenai perbedaan kebaikan dengan keburukan. Beliau menjawab dengan penuh kearifan bahwa kebaikan adalah akhlak mulia (husnul khuluq) sementara perbuatan dosa adalah sesuatu hal yang membuat hati menjadi tidak tenang dan pelakunya tidak ingin perbuatannya diketahui orang lain.
Salah satu ladang amal –dari sekian banyak ladang– yang paling dekat adalah orang tua. Ia bisa menjadi pisau bermata dua. Tajam ke satu sisi, tajam pula ke sisi yang lain. Dengan kata lain, ia bisa menjadi busur bagi siapapun untuk membidik tujuh tingkatan surga-Nya. Ia bisa juga menjadi bumerang yang membinasakan pemiliknya.
Semua kembali kepada yang menggarap ladang tersebut. Bisa menjadi ladang kebaikan, bisa pula menjadi ladang maksiat kita kepada Allah. Na’udzubillah min dzalik.
Keutamaan Berbakti Kepada Orang Tua
Suatu hari, ‘Abdullah Bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian ia kembali bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” Kemudian ia kembali bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam menjawab, “Berjihad di jalan Allah.”. (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan oleh Tirmidzi, dijelaskan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah jalan tengah pintu surga.
الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه
Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silahkan sia-siakan orang tua kalian.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”).
Ancaman Bagi yang Melalaikannya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
رغمَ أنفُ ، ثم رغم أنفُ ، ثم رغم أنفُ قيل : من ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال : من أدرك أبويه عند الكبرِ ، أحدَّهما أو كليهما فلم يَدْخلِ الجنةَ
Kehinaan, kehinaan, kehinaan.“. Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup ketika mereka sudah tua, baik salah satunya atau keduanya, namun orang tadi tidak masuk surga.” (HR. Muslim 2551)
Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk melaksanakan perintah birrul walidain (berbakti kepada orang tua), dan penjelasan tentang betapa besar pahalanya. Artinya, berbakti kepada kedua orang tua ketika mereka sudah tua, dalam bentuk khidmat (bantuan fisik), atau nafkah, atau dalam bentuk lain, merupakan sebab untuk masuk surga. Barangsiapa yang lalai terhadap hal ini maka ia melewatkan kesempatan masuk surga dan ia juga mendapat kehinaan di sisi Allah. (Syarh Shahih Muslim, 1/85).
Sungguh mulia birrul walidain ini. Karena ia bisa membawa keridhaan orang tua atas pelakunya. Kemudian, puncak konsekuensi dari ridha orang tua adalah surga Allah.
Meneladani Kisah Uwais Al-Qarni
Siapakah Uwais Al-Qarni?
Dia adalah seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya yang lumpuh dan dia berbakti kepadanya.
Ibunya pernah mengatakan bahwa kehidupannya tidak akan lama lagi, sehingga ia meminta kepada Uwais Al-Qarni untuk mengusahakannya mengerjakan haji ke Baitullah. Ia tercenung. Perjalanan ke Mekah sangat jauh melewati padang tandus dan panas. Orang-orang biasanya menyiapkan perbekalan yang banyak dan kendaraan. Namun, ia sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan.
Ia akhirnya memutuskan untuk membeli seekor anak lembu. Anak lembu ini tentu tidak digunakan sebagai kendaraannya untuk pergi ke Mekah. Apa yang ia lakukan? Ia membuatkan kandang di atas bukit. Lalu ia setiap hari naik-turun bukit dengan membawa anak lembu itu di atas pundaknya.
Setelah delapan bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Anak lembu itu kini telah menjadi lembu yang besar. Begitu pula dengan otot-otot Uwais Al-Qarni. Ia kuat untuk mengangkat barang-barang yang berat di atas pundaknya.
Kemudian, ia menggendongkan ibunya di atas pundak sampai ke Mekah. Semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki! Sungguh besar kecintaan Uwais Al-Qarni kepada ibunya. Hal ini tampak dalam kesungguhan memenuhi keinginan ibunya.
Di Mekah, ia berjalan tegap menggendong ibunya thawaf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” pinta Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya ibunya heran. Uwais menjawab, “Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari Ibu yang akan membawa aku ke surga.
Adz Dzahabi pernah berkata mengenai Uwais Al-Qarni, “Seorang teladan yang zuhud, penghulu para tabi’in di zamannya, termasuk di antara wali-wali Allah yang shalih lagi bertaqwa, dan hamba-hamba-Nya yang ikhlas.” (Siyar A’lam An Nubala’ 4/19)
Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam jalan-Nya.
Wallahu a’lam.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Sumber : Dakwatuna.com

Cinta Guruku Pembawa Kesuksesan

Di sebuah sekolah, ada seorang guru mengajar dengan tulus dan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk siswa-siswanya. Guru tersebut merupakan wali kelas 5, salah satu siswa dalam kelasnya selalu berpakaian sembrono, acak-acakan dan kumel. Anak ini malas, saat berlangsung proses belajar mengajar ia selalu mengantuk di kelas, dan sering datang terlambat ke sekolah. Ketika guru mengajukan sebuah pertanyaan, semua siswa mengacungkan tangannya untuk menjawab sebuah kuis. Kecuali dia yang tak mengacungkan tangan. Dia tidak pernah berpartisipasi aktif di dalam kelas.
Guru ini terus berusaha melakukan berbagai cara untuk menyukai anak tersebut, tapi tidak pernah berhasil. Hingga akhirnya ia bermasa bodoh terhadap anak itu. Di raport semester ganjil, guru tersebut menulis apa adanya mengenai keburukan anak tersebut.
Suatu hari tanpa disengaja, guru itu membolak-balikkan raport anak tersebut dari kelas 1. Di antara catatan raport dari wali kelasnya terdahulu ada catatan yang tertulis, “Ramah, menyukai teman-temannya, ceria, sopan, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, memiliki potensi untuk berhasil.”
“Ini pasti salah, bisa mengikuti pelajaran darimana? Pasti wali kelasnya ngarang.” Pikir guru tersebut sambil melanjutkan membaca catatan raport anak ini.
Di catatan raport kelas duanya tertulis, “Kadang terlambat datang ke sekolah disebabkan harus mengurusi ibunya yang sedang sakit terlebih dahulu.”
Di kelas 3 catatan semester ganjilnya tertulis, “ Sering mengantuk di dalam kelas, disebabkan penyakit ibunya yang semakin memburuk.” Catatan semester genapnya tertulis, “Sering merenung, tak punya semangat disebabkan karena ibunya meninggal.”
Di catatan raport kelas 4 nya tertulis, “Ayahnya depresi sehingga sering melakukan tindak kekerasan kepada anak ini.”
Tiba-tiba guru ini merasakan sesak di dadanya, tanpa ia sadari air matanya jatuh berlinang. Ia menyesal telah mengumpat anak ini dengan sebutan anak yang pemalas, padahal anak ini sudah berusaha dengan sangat tangguh untuk bertahan dari pilu yang ia rasakan begitu mendalam.
Keesokan harinya, selesai jam sekolah ia menyapa anak ini. “Kebetulan ibu ada sesuatu yang mau dikerjakan di sekolah sampai sore, kamu mau nggak belajar mengejar ketertinggalan kamu di pelajaran? kalau ada yang kamu nggak ngerti, entar ibu yang ajarin.”
Mendengar gurunya memberi perhatian kepadanya, anak ini memberikan senyuman manisnya kepada guru tersebut. Guru tersebut tentunya juga sangatlah senang melihat siswa yang dicapnya pemalas itu mulai bangkit dari keterpurukannya.
Semenjak saat itu, anak tersebut bersungguh-sungguh belajar. Suatu hari pada saat guru tersebut masuk ke dalam kelas dan memberikan kuis lagi kepada siswa-siswanya, anak ini mengacungkan tangannya. Rasa senang yang guru tersebut rasakan tidak mampu diucapkan dengan kata-kata. Kepercayaan diri si anak ini mulai tumbuh kembali.
Di kelas 6, guru tersebut tidaklah menjadi wali kelas si anak. Pada saat pengumuman kelulusan, guru tersebut mendapat selembar kertas dari anak tersebut. Di dalam surat tersebut tertulis, “Bu guru sangat baik padaku seperti mama, bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”
Setelah sepuluh tahun kemudian, guru tersebut kembali mendapat sebuah kertas yang bertulis, “Saya menjadi dokter yang mengerti rasa sakit dan mengerti rasa syukur. Saya mengerti rasa sakit karena saya pernah menerima pukulan-pukulan dari ayah, saya mengerti rasa syukur karena telah dipertemukan dengan ibu guru.”
Kertas itu diakhiri dengan kalimat, “Saya tidak pernah lupa dengan ibu guru saya waktu kelas 5. Mungkin bu guru yang Allah kirimkan untuk menyelamatkan saya dari keterpurukan yang berkepanjangan. Sekarang saya sudah dewasa dan menjadi dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah wali kelas saya di kelas 5 SD.”
Setahun kemudian, kertas yang datang adalah surat undangan, dalam kertas tersebut tertulis, “Mohon duduk di kursi mama di pernikahan saya.” Air mata guru tersebut tumpah tanpa mampu ia bendung lagi, rasa haru dan bahagia menyelimutinya seketika.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Sumber : Dakwatuna.com

Sabtu, 12 September 2015

Taujih : Tak Akan Bisa Sempurna Di Jalan Dakwah

Setelah sekian tahun ternyata saya tak pernah bisa untuk menjadi sempurna di jamaah ini. Jalan dakwah yang indah ini telah memberiku sebuah pelajaran penting betapa di tempat yang paling baik sekalipun sebagai hambanya yang lemah dan hina tak akan pernah luput untuk berbuat dosa dan khilaf. Allah sajalah yang maha sempurna. Inilah 10 bukti betapa lemah dan berdosanya saya di jamaah ini:

  • Lemahnya semangat tabayyun ketika menerima berita buruk.

Ketika menerima kabar baik tentang seorang ikhwah selalu ada rasa bangga dan senang. Tetapi ketika mendengar kabar buruk tentang ikhwah tesebut saya seolah langsung memberi stempel buruk kepada yang bersangkutan, padahal belum tentu benar. Mau tabayyun secara langsung ke orangnya rasanya juga risih. Malah lebih percaya pada si pembawa kabar burung bermulut ember. Kasian ikhwahnya yang ikut saya nikmati ‘daging’-nya. Astaghfirullah…

  • Menganggap para masyaikh, qiyadah, murobbi, naqib sebagai manusia istimewa.

Saya khawatir jika ini terus terjadi maka ketika suatu saat Allah menampakkan aib mereka maka saya tidak dapat mengendalikan syahwat emosional dan menganggap tidak ada lagi yang baik di jamaah ini sebab para ustadznya saya pada tidak beres apalagi yang di bawahnya. Astaghfirullah…

  • Merasa lebih mulia dari kaum ‘aammah.

Padahal mereka bisa jadi selalu diampuni oleh Allah karena ketidaktahuan atas kesalahannya. Bukankah menyembunyikan kebenaran yang seharusnya segera disampaikan  kepada mereka juga adalah sebuah dosa. Justeru saya akan menjadi lebih buruk jika mengetahui sesuatu kemudian tidak melaksanakannya. Astaghfirullah…

  • Merasa lebih baik dari kelompok dakwah yang lain.

Sebenarnya yang saya pahami adalah bahwa pilihan jalan dakwah yang saya tempuh ini cukup ‘tepat’ bagi diri saya, tetapi kenapa sulit sekali bagi diri ini untuk menekan anggapan pribadi yang merasa lebih baik dari kelompok dakwah yang berbeda bahkan terkadang suka sekali memberi komentar negatif tentang mereka. Astaghfirullah…

  • Sering abai dan merasa tak berdaya berdakwah di lingkungan keluarga.

Puluhan bahkan ratusan barangkali orang-orang yang ter-rekrut ke jamaah ini melalui kerja-kerja jamaah. Padahal di antara mereka tidak ada sama sekali yang merupakan keluarga terdekat. Jikapun ada satu atau dua yang itupun barangkali bukan karena melalui ikhtiar saya. Padahal diri ini begitu berharap dapat memberi hadiah terbaik bagi orang-orang yang kita cintai itu (ayah, ibu, paman, bibi, adik, kakak, sepupu, dll), namun seolah saya tak berdaya dan sampai sekarang masih bingung apa kendalanya. Astaghfirullah…

  • Lebih menonjol sikap ingin dimengerti daripada sikap peka terhadap kesulitan orang lain.

Saya selalu ingin dimengerti bahwa saya orang sibuk, banyak amanah, anak saya banyak, anak saya masih kecil-kecil, pekerjaan kantor saya menumpuk, jadwal saya padat, saya ini orang penting, dan berbagai keadaan lainnya. Sementara tidak sedikit ikhwah lainnya yang kondisinya jauh lebih sulit dan jauh lebih sibuk dari diri saya tetapi mereka malu menonjolkannya karena takut tidak akan kebagian amanah di jamaah ini. Astaghfirullah…

  • Setengah hati dalam berbagi nikmat, sepenuh hati dalam berbagi duka.

Ketika hidup saya disinggahi oleh nikmat seolah hanya ingin menikmatinya sendiri dulu. Apalagi nikmat itu adalah sesuatu yang begitu kita impikan. Berbagi saat lagi punya mood saja. Kalaupun mau berbagi semangatnya setengah hati.  Ibaratnya kalau punya 100, maka 1 bagian saja untuk orang lain. Itupun kalau ada yang meminta bantuan. Sudah begitu berharap kembali pula. Harapannya semoga Allah menggantinya menjadi 7 bagian seperti isi taujihnya Yusuf Mansur. Giliran dapat musibah, ehh… maunya semua orang tahu kalau saya lagi susah.

  • Terkadang semangat bicara mengalahkan semangat belajar dan bekerja.

Waktu lagi bahas agenda kerja dakwah hasrat bicara saya hampir tak bisa dibendung. Semua ide dan saran-saran saya tumpahkan hingga saya jadi pusat perhatian. Ngomong ngalor ngidul, nyuruh sana-sini, si  A harusnya begini, si B harusnya begini dan begitu, si C bikin ini dan bikin itu. Lah! Saya sendiri ngapain? Konsepnya jempol, realisasinya tumpul. Kadang juga bicaranya tidak berbobot karena kurang mempelajari masalah. Saya berbicara hanya ingin dianggap aktif dalam syuro’, tapi tataran lapangannya nihil. Astaghfirullah…

  • Jika sudah bekerja justeru menganggap yang lain tidak bekerja.

Kalau sudah bekerja biasanya diam-diam saya sering memperhatikan mereka yang aktif bersama-sama saja kemudian mengidentifikasi siapa saja yang tidak kelihatan di lapangan. Yang tidak kelihatan langsung masuk black list. Padahal sering saya tidak sadari mereka yang tidak terlihat di tengah medan dakwah, pekerjaan dan tanggungjawab mereka jauh lebih berat, pengorbanan mereka juga penuhh resiko. Ada juga yang bekerja dalam senyap dan ada juga yang menyicil pekerjaan dan tanggungjawab mereka di sela-sela kesibukan mereka yang sangat padat.

  • Menganggap semua kerja dakwah dapat tergantikan dengan uang.

Dana, alasan klasik yang tidak pernah usang. Amanah tidak dijalankan karena dananya belum cair. Gerakan jadi lambat karena dananya tidak cukup. Kalau begitu saya yang adakan uangnya, kalian yang kerja. Akhirnya sistem dalam jamaah dakwah berjalan seperti berjalannya perusahaan. Prinsip yang mengatakan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya butuh uang, adagium ini sungguh hampir menyesatkan saya. Saya hampir menjadi hamba uang yang telah banyak memperbudak banyak orang itu. Terlalu menyederhanakan kerja-kerja dakwah dengan uang membuat saya menjadi seperti tuan besar di tengah-tengah anak buah. Saham dakwah hanya terukur dari materi semata, sementara mereka yang tidak memiliki materi lebih seperti tidak penting lagi. Perasaan senasib sepenanggungan, kekompakan, keakraban, keceriaan dalam kebersamaan, dan hubungan erat adalah nilai-nilai yang lahir dari fungsi dan kerja dakwah yang tak dapat tergantikan dengan uang.
Permohonan maafku untuk para qiyadah dakwah dan semua ikhwah atas ketidaksempurnaan ini.



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/09/08/74269/tak-akan-bisa-sempurna-di-jalan-dakwah/#ixzz3lZ6CyMme 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Jumat, 11 September 2015

Mendidik Anak Berkarakter Islami

Guru dikenal dikenal sebagai profesi seseorang di sekolah yang bertugas mengajar anak-anak. Tetapi pada hakikatnya semua manusia merupakan seorang guru apabila ia dapat mengajarkan sesuatu yang bermanfaaat kepada orang lain. Tentulah salah satu peran guru berada pada orang tua. Tugas orang tua sebagai guru bersifat alami dan natural. Hal inilah yang akan membentuk bagaimana karakter seorang anak nantinya. Maka sangat penting bagi orang tua untuk memahami pendidikan karakter untuk anak.
Pendidikan karakter adalah pendidikan dalam membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991).
Karakter seorang anak terbentuk dari kebiasaannya sehari-hari. Karena kontinuitas inilah yang membentuk karakter secara permanen dan tahan lama. Teori-teori pendidikan pun bermunculan. Teori yang mengatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor lingkungan yang dipelopori oleh Jhon Locke yang dikenal sebagai teori Empirisme, Teori yang mengatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor hereditas atau pembawaan yang dipelopori oleh Arthur Schopen Hauer yang dikenal sebagi teori Nativisme, dan banyak lagi teori-teori yang mengemukakan perkembangan seorang anak serta faktor-faktornya.
Padahal apabila kita cermati, semua faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain, dari mulai keluarga, pembawaan serta lingkungan dimana anak itu tinggal. Apabila kita melihat dari pendidikan Islam untuk anak, sebenarnya kita bisa melatih karakter anak-anak itu pada kegiatan sehari-harinya sesuai dengan anjuran dan kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Beberapa hal yang dapat melatih karakter anak-anak antara lain:
Pertama, biasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan, minum, menulis dan menerima tamu. Mengajarkannya untuk mengawali setiap pekerjaan dengan bacaan basmalah terutama untuk makan dan minum. Dan harus dilakukan dengan duduk serta mengakhirinya dengan membaca hamdalah. Membiasakan anak-anak jujur dalam perkataan dan perbuatan. Hendaknya kita juga tidak berbohong kepada mereka, meskipun kita hanya bergurau. Jika kita menjanjikan sesuatu hendaknya kita penuhi.
Kedua, membiasakan anak untuk selalu menjaga kebersihan, memotong kukunya, mencuci kedua tangannya sebelum dan sesudah makan, dan mengajarinya untuk bersuci ketika buang air kecil dan buang air besar, sehingga tidak meninggalkan kotoran atau najis pada pakaiannya dan shalatnya menjadi sah.
Ketiga, berlemah lembut dalam memberi nasehat kepada mereka dengan cara rahasia. Tidak membuka kesalahan mereka di di depan umum. Jika mereka tetap membandel maka kita diamkan selama tiga hari, dan tidak boleh lebih dari itu. Ingatkan juga mereka supaya tidak kafir mencela dan melaknat orang serta berbicara yang jelek. Kita juga hendaknya menjaga ucapan di depan mereka agar menjadi teladan yang baik bagi mereka.
Keempat, memberi kasur pada setiap anak jika memungkinkan, jika tidak maka setiap anak diberikan selimut sendiri-sendiri. Akan lebih utama jika anak perempuan mempunyai kamar sendiri dan anak laki-laki mempunyai kamar sendiri, guna menjaga akhlak dan kesehatan mereka. Melarang anak membaca majalah dan gambar porno serta cerita-cerita komik persilatan dan seksualitas. Membatasi tontonan mereka di Televisi karena tontonan sekarang ini berbahaya bagi akhlak dan masa depan anak-anak.
Kelima, membiasakan untuk tidak membuang sampah di tengah jalan. Beritahu juga mereka akibat apabila membuang sampah jangan sembarangan. Berpesan juga kepada anak-anak untuk berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakiti mereka serta membiasakan anak bersikap hormat dan memuliakan tamu serta menghidangkan suguhan baginya.
Keenam, mengajarkan mereka untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran , tidak takut kecuali kepada Allah dan tidak menakut-nakuti mereka dengan cerita yang menakutkan serta mewaspadai pergaulan mereka dengan kawan-kawan yang nakal, mengawasi mereka, dan melarang mereka duduk-duduk di pinggir jalan.
Ketujuh, memberi salam kepada anak-anak di rumah, di jalan, dan di kelas dengan lafadzh Assalamu’alaikum, jangan biasakan menyapa dengan kata Hai, Hallo, ataupun ucapan salam lainnya, karena ucapan itu merupakan sebuah do’a. Jangan mendoakan kejelekan kepada anak , karena do’a baik maupun buruk kadang-kadang dikabulkan, dan mungkin menambah kesesatan mereka. Lebih baik jika kita mengatakan kepada anak, “Semoga Allah Memperbaikimu”. Biasakan juga budaya 5S kepada anak-anak (Salam, Senyum, Sapa, Sopan dan Santun).
Kedelapan, membiasakan anak-anak untuk memakai pakaian sesuai jenisnya sehingga pakaian wanita tidak sama dengan laki-laki, memberikan kain penutup aurat kepada anak perempuan sejak kecil supaya terbiasa pada saat dewasa serta menjauhi pakaian-pakaian ala Barat seperti celana dan baju yang sempit dan terbuka. Berikan juga pengetahuan kepada mereka tentang pentingnya menjaga aurat
Kesembilan, menyuruh anak-anak untuk diam ketika adzan berkumandang dan menjawab bacaan-bacaan adzan serta untuk anak laki-laki dibiasakan shalat berjamaah di masjid. Beritahu mereka juga dengan janji surga, bahwa surga akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan shalat, puasa, menaati kedua orang tua dan berbuat amalan yang diridhai oleh Allah serta menakut-nakuti mereka dengan neraka, bahwa neraka diperuntukkan bagi orang yang meninggalkan shalat, menyakiti orang tua, membenci Allah, melakukan hukum selain hukum Allah dan memakan harta orang dengan menipu, korupsi dan lain sebagainya.
Terakhir, memberikan cerita-cerita yang mendidik, bermanfaat dan islami, seperti serial cerita-cerita dalam alQuran dan sejarah Islam lainnya serta ceritakan juga perjuangan para sahabat-sahabat nabi yang terus semangat melawan kejahatan meskipun nyawa taruhannya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/08/04/72738/mendidik-anak-berkarakter-islami/#ixzz3lPWHaUjD 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook


Minggu, 24 Mei 2015

Kekuatan Seorang Ibu

Wanita ditakdirkan oleh Allah memang lemah secara fisik tetapi tidak dengan jiwanya. Jika seorang wanita bisa mengelola jiwanya dengan baik.. ia akan menjadi seorang wanita yang tangguh, kuat dalam menjalani apapun warna-warni kehidupan ini.Hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang di bawah dan kadang di atas.. maka seyogyanya bagi seorang wanita adalah menata kembali jiwanya, mendekatkan diri pada Allah karena dengan begitu yang membuat fisiknya semula lemah menjadi kuat dalam menghadapi badai kehidupan.
Sebut saja wanita itu seorang ibu.. ia akan berfisik kuat, bermental baja ketika menghadapi kenyataan semisal anggota keluarganya ada yang sakit entah suami, anak atau orangtua. Karena jiwanya tertata, ia akan menjadi seorang yang kuat melebihi seorang pria (suami), dalam satu waktu ia bisa saja mengurus anak, suami, rumah dan belum lagi pekerjaannya (bagi yang berkarier). Itu mungkin baru anak satu, lalu bagaimana jika anaknya lebih dari satu bisa dua, tiga, empat dan seterusnya? Ternyata ia dimampukan Allah dalam mengurus semuanya itu.
Luar biasa ya.. Lalu kenapa seorang ibu itu kuat? Karena ia berbicara pada jiwanya “Duhai jiwa, kini aku adalah seorang ibu dari sekian anakku dan aku adalah istri dari suamiku dan aku adalah kepala rumah tanggaku.. Andaikan diri ini tidak kuat, lantas siapa yang akan mengurus semuanya? Ya Rabb mampukan aku.. Dalam menjalani setiap peranku”. Begitulah kunci kekuatan seorang wanita.. Memang fisiknya lemah, tapi jiwanya kuat.. Karena ia selalu berusaha menguatkan diri dengan mindset yang dibentuknya.
Duhai para ibu.. Percayalah. Allah memberikan peran terbaik untukmu. Karena Allah menyayangimu sehingga Allah memberikan tugas yang telah diukur sesuai kemampuanmu. Maka tetaplah dekatkan diri pada Allah, serahkan segala urusanmu hanya padaNya. Mohonlah kekuatan padaNya agar engkau mampu mengemban amanahmu sebagai seorang ibu. Yasarkumullah.