SELAMAT DATANG DI BLOG KOLEKSI TAUJIH

Semoga Bermanfaat

Senin, 28 Desember 2015

Ladang Amal Birul Walidain

 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra` : 23)
***
Kebaikan adalah sebuah sifat yang mulia. Ia ada sebab kecintaan kepada Allah. Kebaikan juga dapat dikatakan sebagai pekerjaan nan mulia. Ia dikatakan baik apabila dilakukan dalam kesendirian. Bukan dalam keramaian pandangan manusia.
Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam pernah ditanyakan oleh sahabat mengenai perbedaan kebaikan dengan keburukan. Beliau menjawab dengan penuh kearifan bahwa kebaikan adalah akhlak mulia (husnul khuluq) sementara perbuatan dosa adalah sesuatu hal yang membuat hati menjadi tidak tenang dan pelakunya tidak ingin perbuatannya diketahui orang lain.
Salah satu ladang amal –dari sekian banyak ladang– yang paling dekat adalah orang tua. Ia bisa menjadi pisau bermata dua. Tajam ke satu sisi, tajam pula ke sisi yang lain. Dengan kata lain, ia bisa menjadi busur bagi siapapun untuk membidik tujuh tingkatan surga-Nya. Ia bisa juga menjadi bumerang yang membinasakan pemiliknya.
Semua kembali kepada yang menggarap ladang tersebut. Bisa menjadi ladang kebaikan, bisa pula menjadi ladang maksiat kita kepada Allah. Na’udzubillah min dzalik.
Keutamaan Berbakti Kepada Orang Tua
Suatu hari, ‘Abdullah Bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian ia kembali bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” Kemudian ia kembali bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam menjawab, “Berjihad di jalan Allah.”. (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan oleh Tirmidzi, dijelaskan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah jalan tengah pintu surga.
الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه
Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silahkan sia-siakan orang tua kalian.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”).
Ancaman Bagi yang Melalaikannya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
رغمَ أنفُ ، ثم رغم أنفُ ، ثم رغم أنفُ قيل : من ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال : من أدرك أبويه عند الكبرِ ، أحدَّهما أو كليهما فلم يَدْخلِ الجنةَ
Kehinaan, kehinaan, kehinaan.“. Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup ketika mereka sudah tua, baik salah satunya atau keduanya, namun orang tadi tidak masuk surga.” (HR. Muslim 2551)
Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk melaksanakan perintah birrul walidain (berbakti kepada orang tua), dan penjelasan tentang betapa besar pahalanya. Artinya, berbakti kepada kedua orang tua ketika mereka sudah tua, dalam bentuk khidmat (bantuan fisik), atau nafkah, atau dalam bentuk lain, merupakan sebab untuk masuk surga. Barangsiapa yang lalai terhadap hal ini maka ia melewatkan kesempatan masuk surga dan ia juga mendapat kehinaan di sisi Allah. (Syarh Shahih Muslim, 1/85).
Sungguh mulia birrul walidain ini. Karena ia bisa membawa keridhaan orang tua atas pelakunya. Kemudian, puncak konsekuensi dari ridha orang tua adalah surga Allah.
Meneladani Kisah Uwais Al-Qarni
Siapakah Uwais Al-Qarni?
Dia adalah seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya yang lumpuh dan dia berbakti kepadanya.
Ibunya pernah mengatakan bahwa kehidupannya tidak akan lama lagi, sehingga ia meminta kepada Uwais Al-Qarni untuk mengusahakannya mengerjakan haji ke Baitullah. Ia tercenung. Perjalanan ke Mekah sangat jauh melewati padang tandus dan panas. Orang-orang biasanya menyiapkan perbekalan yang banyak dan kendaraan. Namun, ia sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan.
Ia akhirnya memutuskan untuk membeli seekor anak lembu. Anak lembu ini tentu tidak digunakan sebagai kendaraannya untuk pergi ke Mekah. Apa yang ia lakukan? Ia membuatkan kandang di atas bukit. Lalu ia setiap hari naik-turun bukit dengan membawa anak lembu itu di atas pundaknya.
Setelah delapan bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Anak lembu itu kini telah menjadi lembu yang besar. Begitu pula dengan otot-otot Uwais Al-Qarni. Ia kuat untuk mengangkat barang-barang yang berat di atas pundaknya.
Kemudian, ia menggendongkan ibunya di atas pundak sampai ke Mekah. Semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki! Sungguh besar kecintaan Uwais Al-Qarni kepada ibunya. Hal ini tampak dalam kesungguhan memenuhi keinginan ibunya.
Di Mekah, ia berjalan tegap menggendong ibunya thawaf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” pinta Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya ibunya heran. Uwais menjawab, “Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari Ibu yang akan membawa aku ke surga.
Adz Dzahabi pernah berkata mengenai Uwais Al-Qarni, “Seorang teladan yang zuhud, penghulu para tabi’in di zamannya, termasuk di antara wali-wali Allah yang shalih lagi bertaqwa, dan hamba-hamba-Nya yang ikhlas.” (Siyar A’lam An Nubala’ 4/19)
Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam jalan-Nya.
Wallahu a’lam.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Sumber : Dakwatuna.com

Cinta Guruku Pembawa Kesuksesan

Di sebuah sekolah, ada seorang guru mengajar dengan tulus dan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk siswa-siswanya. Guru tersebut merupakan wali kelas 5, salah satu siswa dalam kelasnya selalu berpakaian sembrono, acak-acakan dan kumel. Anak ini malas, saat berlangsung proses belajar mengajar ia selalu mengantuk di kelas, dan sering datang terlambat ke sekolah. Ketika guru mengajukan sebuah pertanyaan, semua siswa mengacungkan tangannya untuk menjawab sebuah kuis. Kecuali dia yang tak mengacungkan tangan. Dia tidak pernah berpartisipasi aktif di dalam kelas.
Guru ini terus berusaha melakukan berbagai cara untuk menyukai anak tersebut, tapi tidak pernah berhasil. Hingga akhirnya ia bermasa bodoh terhadap anak itu. Di raport semester ganjil, guru tersebut menulis apa adanya mengenai keburukan anak tersebut.
Suatu hari tanpa disengaja, guru itu membolak-balikkan raport anak tersebut dari kelas 1. Di antara catatan raport dari wali kelasnya terdahulu ada catatan yang tertulis, “Ramah, menyukai teman-temannya, ceria, sopan, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, memiliki potensi untuk berhasil.”
“Ini pasti salah, bisa mengikuti pelajaran darimana? Pasti wali kelasnya ngarang.” Pikir guru tersebut sambil melanjutkan membaca catatan raport anak ini.
Di catatan raport kelas duanya tertulis, “Kadang terlambat datang ke sekolah disebabkan harus mengurusi ibunya yang sedang sakit terlebih dahulu.”
Di kelas 3 catatan semester ganjilnya tertulis, “ Sering mengantuk di dalam kelas, disebabkan penyakit ibunya yang semakin memburuk.” Catatan semester genapnya tertulis, “Sering merenung, tak punya semangat disebabkan karena ibunya meninggal.”
Di catatan raport kelas 4 nya tertulis, “Ayahnya depresi sehingga sering melakukan tindak kekerasan kepada anak ini.”
Tiba-tiba guru ini merasakan sesak di dadanya, tanpa ia sadari air matanya jatuh berlinang. Ia menyesal telah mengumpat anak ini dengan sebutan anak yang pemalas, padahal anak ini sudah berusaha dengan sangat tangguh untuk bertahan dari pilu yang ia rasakan begitu mendalam.
Keesokan harinya, selesai jam sekolah ia menyapa anak ini. “Kebetulan ibu ada sesuatu yang mau dikerjakan di sekolah sampai sore, kamu mau nggak belajar mengejar ketertinggalan kamu di pelajaran? kalau ada yang kamu nggak ngerti, entar ibu yang ajarin.”
Mendengar gurunya memberi perhatian kepadanya, anak ini memberikan senyuman manisnya kepada guru tersebut. Guru tersebut tentunya juga sangatlah senang melihat siswa yang dicapnya pemalas itu mulai bangkit dari keterpurukannya.
Semenjak saat itu, anak tersebut bersungguh-sungguh belajar. Suatu hari pada saat guru tersebut masuk ke dalam kelas dan memberikan kuis lagi kepada siswa-siswanya, anak ini mengacungkan tangannya. Rasa senang yang guru tersebut rasakan tidak mampu diucapkan dengan kata-kata. Kepercayaan diri si anak ini mulai tumbuh kembali.
Di kelas 6, guru tersebut tidaklah menjadi wali kelas si anak. Pada saat pengumuman kelulusan, guru tersebut mendapat selembar kertas dari anak tersebut. Di dalam surat tersebut tertulis, “Bu guru sangat baik padaku seperti mama, bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”
Setelah sepuluh tahun kemudian, guru tersebut kembali mendapat sebuah kertas yang bertulis, “Saya menjadi dokter yang mengerti rasa sakit dan mengerti rasa syukur. Saya mengerti rasa sakit karena saya pernah menerima pukulan-pukulan dari ayah, saya mengerti rasa syukur karena telah dipertemukan dengan ibu guru.”
Kertas itu diakhiri dengan kalimat, “Saya tidak pernah lupa dengan ibu guru saya waktu kelas 5. Mungkin bu guru yang Allah kirimkan untuk menyelamatkan saya dari keterpurukan yang berkepanjangan. Sekarang saya sudah dewasa dan menjadi dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah wali kelas saya di kelas 5 SD.”
Setahun kemudian, kertas yang datang adalah surat undangan, dalam kertas tersebut tertulis, “Mohon duduk di kursi mama di pernikahan saya.” Air mata guru tersebut tumpah tanpa mampu ia bendung lagi, rasa haru dan bahagia menyelimutinya seketika.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Sumber : Dakwatuna.com