Copy from : www.hasanalbanna.com
Hari ini baik kalangan pergerakan, pengamat politik dan futurolog, sama-sama sukar memprediksi kejadian- kejadian di depan. Ada percepatan yang tak seorangpun dapat mengklaim bahwa itu hasil usahanya sendiri. Amerika ataupun Sovyet sama sekali tak pernah membayangkan betapa negeri adi daya itu akan bubar semudah penonton topeng monyet atau gerombolan katak yang ditumpukkan di atas baki.
Kalau ada hal perubahan yang mudah menyentak perhatian kita, mungkin itu perubahan bendawi. Dan, ini berarti kekayaan. Dunia kerap berdecak kagum oleh kemajuan teknologi. Efisiensi, pragmatisasi dan ekonomisasi segala gerak terjadi dengan cepat dan mencengangkan. Setelah berabad-abad merambat, akhirnya manusia berubah dengan cepat. Itu mengagumkan- lepas dari dampak negatif yang selalu datang menyusul puluhan tahun kemudian sesuai denganm karakter ilmu yang mempunyai daya koreksi, walaupun kadang terlambat. Seharusnya ia mampu melihat kedepan dan menyelesaikan kekurangannya sendiri, tidak hanya secara kumpul pengalaman tetapi teropong jauh ke depan, analitik, sistematik dan proyektif.
Mencegat ketertinggalan
Kebudayaan materialistik telah membuat para pakar berdecak kagum, seraya meluap-luapkan bayang-bayang darah, kerangka, dan tengkorak. Begitu banyak rakyat yang di korbankan demi ‘mercusuar’ peradaban. Sebutlah tujuh keajaiban dunia, dari Pyramida, Tembok Besar Cina sampai Borobudur. Semua adalah produk peradaban besar yang harus di akui oleh mereka yang bersedia menjustifikasi semua kezaliman atas nama keharuman kolektif dan kebanggan bangsa.
Berapa lama waktu yang ditunggu untuk terjadinya perubahan teknologi, modernisasi dan peradaban kebendaan di dunia Islam? Semoga bukan apatisme jika Sayid Quthb mengesankan pesimisme tersebut dengan angka: tiga abad. Itupun jika bangsa-bangsa yang telah jauh melaju tiba-tiba menghentikan lari mereka. Lalu da’wah macam apa yang dapat kita berikan kepada bangsa-bangsa yang hanya mau mendengar dari mereka yang survive dan unggul dalam segala bidang kehidupan material? Kita yang dalam bidang pemikiran dan keruhanian pun belum cukup punya alasan untuk memimpin. Ada yang sangat bingung dengan tantangan ini. Lalu menawarkan solusi untuk membongkar-pasang habis-habisan manhaj yang sangat terpelihara ini. Mereka bagaikan penumpang kendaraan sempurna, yang karena tak tahan oleh bantingan-bantingan di atas jalan yang penuh kubangan, dengan ‘pintar, kultural dan liberal’ menawarkan solusi. ‘Mesinnya harus kita bongkar’. Atau lebih mengharukan lagi komentar seseorang mereka: ‘Ini pasti karena kerusakan kaca spion’.
Persoalan sekarang terkait dengan mentalitas ‘Apa kita mampu?’ atau Apa mereka mau percaya?’ Perlukan sebuah keberanian dan keyakinan diri untuk memilih islam sebagai solusi. Namun bagaimana cara meyakinkan si sakit untuk mau berobat dan meyakinkan yang sehat bahwa obat yang ia konsumsi itu patut dipasarkan. Ia tak boleh tampil dengan tubuh yang ringkih dan kesehatan yang mencemaskan.
Perubahan cepat di Zaman Awal
Mereka yang mengukur keberhasilan perubahan dari sudut pandang kebendaan akan sangat kecewa. Dimana mereka bisa temukan prasasti kejayaan Rasul? Mereka bukan kelas para ‘pencipta’ keajaiban dunia –para kaisar yang orang tak peduli lagi apakah meraka mau mengukir, memahat dan membangun kegemilangan ‘abadi’ di atas tulang belulang dan gelimang darah rakyat-. Mereka akan lelah untuk bisa mengiyakan pesan agung Al- Musthafa Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik- baik kurun (generasi, abad) ialah kurunku, kemudian yang sesudahnya, kemudaian yang sesudahnya”. Kalau ada abad-abad yang menjadi monumen peradaban materi, orang pun banyak mengkaitkannya dengan Timur Persia atau Barat Yunani, bukan pada hasil taghyir fundamental yang mulai dicanangkan dari bukit Shafa, bahkan dari rumah Fatimah bin Khattab dan rumah Al Arqam bin Abi Arqam.
Ka’bah bangunan monumental terbesar yang menjadi saksi dan disaksikan sejarah itu kosong. Tak ada pahatan patung-patung pujaan. Tak ada altar penyembahan dewata. Ia dan Batu Hitam (Hajar Aswad) tak pernah disembah, bahkan oleh orang paling musyrik di saat kemusyrikan itu berjaya. Tak ada kisah mobilisasi dan instruksi kerja paksa dari seorang raja yang sabdanya tak terbantahkan. Apa yang mau di wariskan ummat ini sebagai kalimat keabadian(kalimatan baqiyah), bila mereka tak dapat kelurusan tauhid, kemuliaan pribadi, kecemerlangan akhlaq dan keceriaan bashirah, seperti yang telah diperankan Al –Khalil Ibrahi As? Haruskah menunggu tiga abad untuk mengejar peradaban material barat, dengan satelit khayalan dan pesawat mimpi, lalu menganngap mereka tidur? Ya, mereka mungkin akan segera hancur oleh napza, zina dan kebebasan seks, bahkan oleh perang dan perpecahan. Lalu mana saham ummat terbaik bagi tenggelamnya kezaliman akhir zaman. Buku Ma’alimfith Thariqmencatat tiga hal utama yang memicu dan memacu Taghyir pada generasi pertama dakwah. Pertama, mereka menuntut ilmu untuk suatu action dan perubahan bukan semata-mata koleksi ilmu. Kedua, mereka memutuskan hubungan dengan masa lalu jahiliyah dan tak ingin kembali ke masa lalu, walaupun sekejap. Ketiga, mereka tegak di hadapan Al-Qur’an dengan penuh kesiapan, seperti seorang Prajurit siap siaga menerima aba-aba.
Sukar membayangkan suatu perubahan dari masa lalu yang begitu berkarat, gelap dan bejad menjadi begitu cemerlang. Bayangkan dunia tanpa perubahan ini, lalu renungkan dimana dunia dapat menemukan kata ‘kemanusiaan, kesamaan, hak-hak asasi, ilmu pengetahuan, masyarakat madani, keadilan, kehormatan ibu dan perempuan, damai dan perang yang biadab….., dan seterusnya.’
Gen Ringkih
Gema taghyir (perubahan) sempat bergemuruh di negeri ini di awal abad 20. Ayat yang telah ribuan kali dibaca datang memberi pencerahan : “Sesungguhnya Alloh tak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasib mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d : 11). Namun yang terjadi, yang penting ada perubahan dari kita, karena Tuhan hanya akan ‘ikut’ mengubah sesudah kita mengubah nasib kita sendiri. Belum terpikir apa prioritas urutan perubahan. Bila sedangkal ini pengertian taghyir, niscaya kaum atheis semakin semakin yakin akan atheisme mereka, karena Tuhan tak berbuat apapun, kecuali bila kita berbuat.
Semangat untuk merdeka dikobarkan dengan berjuang, bukan dengan berpangku tangan. Mungkin karena refleksi kemiskinan, keterjajahan dan ketertinggalan, maka fokus utama taghyir baru sebatas ‘go to hell’ nya Belanda dengan membawa pulang kulit putih, rambut pirang dan mata biru mereka. Mereka pergi mewariskan begitu banyak masalah yang terlalu mahal untuk di laundry: Undang-undang, budaya, tradisi politik, mentalitas dan lain-lain. Tiga perempat abad telah berlalu, banyak yang berubah dibangsa ini. Adakah respon selain respon perubahan-perubahan artificial?
Jiwa-khususnya yang ringkih- menjadi perhatian utama perubahan permukaan hanya akan hidupsekejap. Kurun-kurin lalau memperlihatkan begitu banyak produk manusia berjiwa, bekarakter, dan berenergi besar. Mereka mengalahkan segala persoalan berat, membuat yang jauh menajadi dekat, bahkan ‘membuat mungkin’ segala yang selama ini mustahil. Timur dan Dunia Islam mengidap penyakit berat yang pernah diidap Bani Israil: kufur akan nikmat akal dan daya hidup. Akhirnya mereka hanya bisa menyumpahi persoalan dan bukan memecahkannya. Mereka memandang dunia dengan muram. Perubahan menjadi ‘monopoli andalan’ kalangan elit dan monopoli yang tak berbagi; “…Pergilah engkau hai Musa dengan Tuhanmu lalu berperanglah, kami tetap akan duduk-duduk di sini.” (QS. Al-Maidah:24).
Ya, setiap penyakit pasti ada obatnya, kecuali jiwa ringkih (huzalul ruh) yang tak pernah Menginginkan perubahan!